Oleh Amidi
Dalam tulisan saya pada kompasiana.com, 18 Maret 2024, yang mensitir masalah pelanggaran etika  atau kecurangan  bisnis oleh pelaku bisnis dalam melakoni bisnis-nya, yang sering terjadi pada hari biasa atau diluar Ramadhon, terjadi pula pada bulan Ramadhon ini.
Berbagai bentuk kecurangan  bisnis yang dilakukan oleh pelaku bisnis dalam melakoni bisnis-nya, baik di luar bulan Ramadhon maupun di bulan Romadhon ini, menarik untuk dicermati. Paling tidak timbul sautu pertanyaan,  mengapa hal tersebut sering terjadi?. Dengan kata,  siapa yang salah, konsumen atau pelaku bisnis?
      Konsumen Membiarkan-nya.
Bila disimak, berbagai pelanggaran etika atau  beragai kecurangan  bisnis yang sering dilakukan pelaku bisnis tumbuh subur, karena ada peran konsumen yang membiarkan tindakan pelaku bisnis (mereka) yang  terus berlangsung atau tumbuh subur. Batapa tidak, karena konsumen terkadang tidak  peduli dengan kecurangan bisnis yang dilakukan oleh pelaku bisnis tersebut.
Misalnya, adanya fenomena pengembalian uang belanja atau "sosokan" (meminjam bahasa Palembang), dengan permen. Fenomena pengembalian uang belanja  dengan permen sering sekali terjadi, baik diluar bulan Ramdhon terlebih  di bulan Ramadhon ini, bahkan intensitas-nya  lebih tinggi lagi lagi di bulan Ramadhon ini, karena pada bulan Ramdhon ini, konsumen berbelanja cendrung lebih banyak dari hari biasa.
Adanya fenomena  kasir yang tidak memberikan struk belanja, baik yang terjadi di gerai ritel modern maupun pada unit bisnis lain. Fenomena ini akan memberi peluang pihak mereka untuk melakukan kecurangan, bisa saja, kasir "bermain", dalam rangka untuk memperoleh keuntungan, memang masih perlu didalami, namun yang jelas tindakan kasir yang demikian  tidak dibenarkan. Mengapa?, karena, biasanya didepan kasir sudah tertera konten peringatan yang berbunyi; " jika kasir tidak memberikan struk belanja, konsumen tidak perlu membayar".
Fenomena kecurangan yang sudah umum, atau bukan rahasia umum lagi  adalah tindakan pelaku bisnis yang menjual makanan/minuman yang  membahayakan  kesehatan konsumen. Misalnya; mereka menggunakan bahan pengawet makanan dari formalin, mereka menggunakan pewarna makanan dari  pewarna kain, mereka menambahkan/memasukkan suatu pemanis dalam suatu makanan/minuman/ buah,  dan masih ada lagi tindakan kecurangan yang dilakukan mereka dalam mempertahankan/menambah citra rasa barang (makanan/minuman/buah/lainnya) yang mereka produksi/jual tersebut.
Fenomena  kecurangan dalam bentuk mengelabui konsumen, yakni menjual barang dagangannnya dengan menggelar barang yang baik/bagus dicampur barang yang jelek/rusak. Fenomena menjaul baranag (makanan/minuman) yang rusak atau kadaluarsa (expired), akan ditemui pula pada pelaku bisnis yang menawarkan/menjual "paket parcel" yang isi-nya makanan/minuman.
Selanjutnya fenomena kecurangan dalam bentuk menaikkan harga se-enak-nya sendiri, walaupun pemerintah telah menetapkan batas bawah dan batas atas dalam hal adanya toleransi kenaikan harga di bulan Ramadhon sampai menjelang hari raya idul fitri, tetap saja mereka leluasa menaikkan harga.
      Bagaimana Menyikapinya?
Sekalai lagi, bila direnungi secara mendalam, memang tidak sepenuhnya kecurangan tersebut dipersalahkan dipihak pelaku bisnis-nya, terkadang ada peran konsumen membiarkan tindakan kecurangan yang dilakukan oleh pelaku bisnis tersebut, walaupun memang dalam hal ini ada pihak yang lebih berkompeten (pemerintah dengan berbebagai perangkatnya) dalam mencegah kecurangan tersebut, namun peran konsumen diutamakan untuk  dapat "mengerem/mengentikan" kecurangan tersebut.
Jika konsumen  menghadapi beberapa fenomena kecurangan tersebut, konsumen hendaknya menentukan sikap atau bersikap. Seperti pada saat konsumen menghadapi tindakan pengembalian uang belanja dengan permen.
Setidaknya konsumen menegor dan berujar kepada  kasir tersebut, "maaf adik/mbak ini permen ambil saja untuk adik/mbak atau bisa saja konsumen meninggalkan permen tersebut. Hal tersebut dilakukan, untuk memberi pelajaran kepada kasir (mereka) bahwa tindakan tersebut sudah termasuk kecurangan bisnis.  Seharusnya, agar fenomena tersebut tidak terjadi, pihak pelaku bisnis (mereka) harus mempersiapkan uang recehan yang banyak, karena  ada bank tempat  menukar uang recehan tersebut.
Kemudian dalam menyikapi kasir yang tidak memberikan struk belanja tersebut, konsumen harus meninta struk tersebut. Jika memang struk belanja tersebut tidak bisa diprint, Â barang yang sudah kita beli tersebut, kita batalkan, jika konsumen ingin memberi pelajaran kepada kasir. Jika konsumen tetap "jadi" membeli barang tersebut, paling tidak konsumen berujar; "adik/mbak sekali lagi kalau masih seperti ini (struk belanja tidak diberikan) saya tidak akan berbelanja disini lagi!. Setiap konsumen yang mengadapi fenomena ini, sudah seharusnya bersikap demikian, agar kasir (mereka) menyadari kecurangan yang dilakukannya tersebut tidak benar.
Dalam menyikapi kantong plastik berbayar, konsumen bisa saja tidak meminta kantong plastik tersebut, jika barang yang dibeli jumlahnya tidak banyak. Bila konsumen  datang ke tempat unit bisnis tersebut dengan mengendarai mobil sendiri, bisa saja konsumen tidak meminta plastik dan  langsung membawa barang nya ke mobil. Jika konsumen membeli barang dalam jumlah banyak, sebaiknya konsumen menyiapkan  dan atau membawa sendiri kantong plastik tersebut.
Untuk menyikapi fenomena kecurangan atas penjualan barang (makanan/minuman) yang sudah kadaluarsa tersebut, konsumen bisa saja mengembalikan barang (makanan/minuman) tersebut untuk meminta ditukar dengan barang (makanan/minuman) yang baik/bagus. Selain itu, konsumen pun bisa juga membatalkan barang (makanan/minuman) yang sudah dibeli tersebut.
Begitu juga dalam menyikapi kasus kecurangan mencampurkan baranag (buah) yang jelek/rusak/busuk dengan barang (buah) yang baik/bagus tersebut. Konsumen harus cermat, dengan mencicipi terlebih dahulu atau memilih sendiri atau membuat perjanjian dengan penjual, jika barang (buah) tersebut pada kenyataannya jelek/rusak/busuk, konsumen akan mengembalikannya dan meminta kembali uang yang sudah bayarkan untuk membeli barang (buah) tersbut.
Singkat kata, setiap ada fenomena/tindakan/kasus kecurangan tersebut, konsumen harus menangkalnya/memberi reaksi tidak setuju, tidak menerima atas kecurangan tersebut. Ini penting, biarkan kita (konsumen) dikatakan "cerewet", "rewel", "pelit", ini penting dalam rangka memberi pelajaran bahwa fenomena/tindakan/kasus kecurangan yang mereka lakukan tidak benar.
Dalam hal ini, konsumen harus mendapatkan hak-hak-nya, karena konsumen dilindungi oleh Undang-undang (UU) yakni UU perlindungan konsumen itu sendiri.
Mohon institusi dayang berwenang dan terkait agar dapat mengoptimalkan peran masing-masing, institusi pemerintah, seperti Dinas Perdagangan, Dinas Koperasi dan UMKM, Dinas Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, termasuk lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia. Dalam rangka melindungi konsumen, semua bentuk kecurangan harus dieliminir dan tuntaskan.
Kemudian perlu disadari juga bahwa dalam jangka  panjang,  apa yang konsumen  lakukan dan institusi/lembaga yang terkait terhadap pelaku bisnis tersebut untuk kepentingan mereka senidiri, agar unit bisnis-nya tetap bertahan, langgeng, maju dan berkembang serta digandrungi oleh pembeli/konsumen dan  yang lebih penting lagi, akan tercipta kemesraan antara semua komponen.  Selamat Berjuang!!!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H