Mohon tunggu...
Amidi
Amidi Mohon Tunggu... Dosen - bidang Ekonomi

Dosen dan Pengamat Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mengapa Anak Negeri Ini Terjerembab ke Dalam Fenomena Makan Tabungan?

26 Desember 2023   06:39 Diperbarui: 26 Desember 2023   07:18 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Oleh Amidi

Saya tergelitik dan sekaligus terdorong untuk menulis persoalan makan tabungan  yang diberitakan dibeberapa media, khususnya  dua pekan ini.

Fenomena anak negeri ini makan tabungan tersebut, sebenanya bukan hal baru, selama masa pandemi dan bahkan sampai saat ini fenomena ini masih menghiasi belantika kehidupan anak negeri ini.

Betapa tidak?, dengan adanya pandemi hampir dua tahun melanda negeri ini, tatanan perekonomian sempat porak poranda, unit usaha tidak sedikit yang colaps, karena daya beli (purchasing power)  turun bahkan nyaris  tidak ada yang memebeli, terjadi PHK dimana-mana, angka pengangguran terus meningkat, ditambah sulitnya tamatan sekolah/Perguruan Tinggi memperoleh pekerjaan formal.

 

Wajar, kalau anak negeri ini terjerembab ke dalam jurang makan tabungan,  untuk menutupi kebuhutan pokok dan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi tersebut, mereka terpaksa mengambil/menggunakan/menguras/menggerus tabungan-nya.

Menurut hemat saya, sebenarnya  fenomena  makan tabungan ini tidak hanya melanda masyarakat yang berpenghasilan rendah saja, tetapi masyarakat yang tergolong ke dalam kelas ekonomi menengah pun sudah mulai terimbas juga.  Bila disimak dan ditelaah lebih jauh lagi, bukan tidak mungkin fenomena makan tabungan ini sudah merambah keberbagi penjuru di negeri ini.

Ferry Sandi dalam  cnbcIndonesia.com, 19 Desember 2023, mensinyalir bahwa pedagang pasar tanah abang juga  mengalami fenomena makan tabungan. Meski mereka berjualan di pasar tekstil besar, namun  banyak pedagang yang mulai kehabisan modal harus menggerus tabungannya dan tidak sedikit yang menyerah serta pulang kampung.

Arrijal Rachman memberitakan bahwa dalam menanggapi fenomena masyarakat makan tabungan,  pihak Bank Indoensia (BI)  mengakui memang tabungan nasabah di bank kian menciut. Pihak BI mengungkapkan penyebab tabungan nasabah atau dana pihak ke tiga  di perbankan  yang kini makin susut pertumbuhannya. Pada bulan November 2023 hanya tumbuh 3.04 persen yoy jauh lebih rendah dibandingkan dengan bulan November 2022 yang tumbuh 8,78 persen. (cnbcIndonesia.com, 21 Desember 2023)

Kemudian fenomena makan tabungan ini diperkirakan akan berlanjut di tahun-tahun mendatang. Hal ini disampaikan juga oleh   Ekonom Universitas  Indonesia Ninasapti Triaswati  belum lama ini  bahwa fenomena  masyarakat makan tabungan demi mencukupi kebutuhan hidup  bakal berlanjut di tahun 2024, terutama dialami masyarakat berpengasilan rendah  dan masyarakat yang terkena dampak pandemi. (cnbcIndonesia.com, 21 Desember 2023)

Mengapa Demikan?

Di atas sudah  saya singgung bahwa salah satu faktor yang menyebabkan anak negeri ini terjerembab kedalam fenomena makan tabungan tersebut, karena negeri ini ikut dilanda pandemi dalam kurun waktu  lebih kurang  dua tahun tersebut.

Pandemi sempat memporak porandakan dan merusak tatanan perekonomian negeri ini, tidak sedikit pelaku bisnsi yang stagnan, tidak membuka unit bisnisnya selama bertahun-tahun dan tidak sedikit pula yang terpaksa tutup atau colaps. Tak ayal lagi, menyebabkan tidak sedikit pegawai, terutama pegawai swasta,  yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dampak berikutnya akan menambah jumlah pengangguran yang memang sudah setiap tahun terus bertambah.

Pendapatan pelaku bisnis terkoreksi, begitu juga dengan pendapatan masyarakat, akhirnya berdampak pada turunnya daya beli (purchasing power), dalam hal ini terjadi siklus/lingkaran  gajah (meminjam istilah Malaysia). Tidak hanya itu, dampak berikutnya adalah masyarakat terpaksa harus menggerogoti tabungan atau makan tabungan.

Penyebab dominan masyarakat makan tabungan ini, karena kebanyakan penghasilan masyarakat masih rendah.  Pengasilan masyarakat masih rendah tersebut, ada bebera  faktor yang menyebabkannya, salah satunya karena tempat mereka bekerja tidak sedikit yang belum membayar gaji/honor sesuai dengan ketentuan Upah Minimum Regional atau Provinsi (UMR/UMP) dan atau adanya  faktor kesewenang-wenang dari sebagian pelaku bisnis yang memperkerjakan mereka untuk memberi imbalan jasa gaji/honor tidak sesuai dengan ketentuan UMR/UMP tersebut.

Sebetulnya boleh saja pelaku bisnis tidak/belum membayar gaji/honor mereka tidak sesuai dengan ketentuan UMR/UMP, jika pelaku bisnis tersebut unit bisnisnya memang belum mampu untuk membayar gaji/honor sesuai dengan ketentuan UMR/UMP tersebut, karena kondisi keuangannya. Namun dalam kenyataannya, pelaku bisnis tidak mau berterus terang atau terbuka dengan pegawai tentang kondisi keuangan unit bisnis-nya yang sebenarnya.

 Kemudian, sebagian besar masyarakat yang bekerja rata-rata menanggung keluarga-nya sampai  empat orang dalam satu keluarga.  Jika satu keluarga hanya sang ayah yang bekerja dan keluarga tersebut terdiri dari  5 orang anggota keluarga, maka sang ayah akan menanggung 4 orang anggota keluarganya. Dengan demikian, berarti pendapatan secara ril yang diterima sang ayah mengecil atau menjadi kecil, bukan?. Kondsi ini lah yang mendorong masyarakat makan tabungan. Syukur masih ada tabungan, kalau tidak, maka mereka akan mencari utang sana sini untuk menutupi kebutuhan-nya.

Selanjutnya, harga bahan kebutuhan pokok terus meningkat pun ikut  mendorong masyarakat makan tabungan. Harga bahan kebutuhan pokok dan atau kebutuhan sehari-hari yang terus meningkat tersebut akan menggerus pendapatan masyarakat, yang pada akhirnya, karena pendapatan/penghasilan mereka tidak meningkat bahkan secara ril cendrung turun, maka akan menyebabkan  mereka terpaksa makan tabungan.

Akhir-akhir ini harga bahan kebutuhan pokok dan atau kebutuhan sehari-hari masyarakat terus mengalami kenaikan. Jika sebelumnya, kenaikan harga-harga tersebut terjadi pada saat hari-hari besar keagamaan saja, namun saat ini harga-harga barang  naik tersebut cendrung terus menerus.

Jalan Keluar.

Pemerintah  melalui Kementrian Ketenagakerjaan dan atau Dinas Tenaga Kerja di daerah harus dapat menengahi persoalan UMR/UMP tersebut. Lakukan pendekatan dengan pelaku  bisnis, "mesra-i" pelaku bisnis, apa yang menjadi persoalannya tidak atau belum membayar gaji/honor pegawainya sesuai ketentuan UMR/UMP tersebut.

Jika pelaku bisnis memang mengalami kendala keuangan atau kelesuan dalam melakoni bisnis-nya, sementara kita berkewajiban mempertahankan bisnis-nya, maka alangkah baiknya kalau dilakukan pemberian bantuan merupa incentif, bantuan subsidi gaji/upah oleh pemerintah, seperti  Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang besarannya setiap tahun harus ditingkatkan, sesuaikan dengan kondisi yang ada. Atau Bantuan Subsidi pegawai yang gaji/honor-nya masih dibawah atau sama dengan Rp.3.000.000,- per bulan.

Di lapangan sering diketemukan , misalnya mereka bekerja pada unit bisnis tertentu yang membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak ringan, hanya diberi imbalan jasa sekitar Rp. 2.000.000, - sampai dengan Rp. 2.500.000,- per bulan, belum lagi terkadang gaji/honor mereka tersebut dipotong ini dan itu-lah. Kasihan,bukan?

Menceati fenomena ini memang sedih, tapi apa mau di kata, mereka memang membutuhkan pekerjaan, mereka butuh makan, lapangan pekerjaan memang masih sulit, sehingga terjadi permintaan akan jasa tenaga kerja (lowongan pekerjaan)  lebih kecil bahkan jauh lebih kecil dari penawaran (pelamar) yang ada. Kondisi ini  memang memberi peluang bagi pelaku bisnis untuk membayar  sesuai versi-nya.

Harga-harga kebutuhan pokok harus terus dipantau, begitu juga dengan  stok, dan lakukan secara ruitn operasi pasar,  jangan hanya pada saat hari-hari besar keagamaan saja. Stop, pernyataan stok cukup di atas kertas, namun stok harus dipastikan benar-benar cukup dilapangan, agar harga tidak cendrung naik dan agar pedagang tidak bermain. Selain itu, pastikan distribusi barang lancar dan sedapat mungkin melakukan sidak sewaktu-waktu agar tidak terjadi penimbunan.

Pihak yang berkompeten, harus dapat mendorong terus terciptanya lapangan pekerjaan bagi pengangguran yang masih terus memburu pekerjaan. Sekolah/Perguruan Tinggi yang memproduksi tamatan yang yang langsung mencari pekerjaan tersebut harus diikuti dengan lapangan pekerjaan yang memadai dan pastikan bahwa setiap ada unit bisnis baru yang berdiri di negeri ini, dipihak mereka harus sedapat mungkin menggunakan tenaga kerja lokal.

Memang jika disimak, bahwa sebagian besar masyarakat  yang memiliki aset (seperti;mobil)  tersebut, sebenarnya tidak semata-mata karena mereka sejahtera, melainkan  mereka hanya sejahtera semu (lihat Amidi dalam kompasina.com, tentang beberapa tulisan yang berhubungan kesejahteraan semua tersebut), karena mereka kebanyakan membeli aset tersebut secara kredit yang nota bene terkadang memaksa untuk menekan pengeluaran-nya dalam mencicil kreditnya tersebut.

Terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah, pihak yang berkompeten, pihak yang bertanggung jawab kepada warga negara-nya harus  terus memantau perkembangan hidup dan kehidupan mereka, bukankah dalam UUD 1945  pasal 27 ayat (2) jelas dinyatakan   bahwa setiap Warga Negera Indoensia berhak atas pekerjaan  dan penghidupan "yang layak" bagi kemanusiaan. Selamat Berjuang!!!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun