Permasalahan pakaian bekas impor akhir-akhir ini memang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan.Â
Persoalan yang satu ini memang cukup "menggelitik" untuk diangkat. Untuk itu saya pun mencoba mengangkat persoalan yang satu ini.
Keberlangsungan pelaku usaha yang menjual pakaian bekas tersebut, akan terhenti dengan adanya larangan terhadap bisnis yang satu ini.Â
Dalam Kompas.com, 16 Maret 2023, dijelaskan bahwa Presiden Joko Widodo mensinyalir pakaian bekas  sangat mengganggu industri tekstil dalam negeri. Oleh karena itu, ia meminta agar bisnis tersebut ditelusuri dan ditindak.Â
Diperkuat oleh Menteri Perdagangan Zulkipli Hasan yang mensitir bahwa pakaian bekas yang didapat dari thrifting (belanja baju bekas) beresiko menularkan penyakit kulit pada pemakianya dan bisa mengahancurkan UMKM lokal. Ia mencontohkan di Mojokerto kerugian akibat adanya bisnis pakaian bekas ini mencapai lebih dari 10 Miliar Rupiah.
Berdasarkan informasi dari Kementerian Perdagangan, bahwa larangan terhadap bisnis thrifting tersebut  mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Eskpor dan Barang  Dilarang Impor (tempo.co, 23 Maret 2023).
Mengapa pakaian bekas impor yang akan dilarang tersebut sangat diminati?Â
Jawabnya, banyak faktor yang mendorongnya, secara umum kualitasnya baik dan harganya lebih murah.Â
Pakaian bekas yang dijual tersebut masih dalam kondisi bagus bahkan ada yang masih baru, masih terdapat merek yang menempel, dan merek tersebut sudah terkenal. Kemudian pakaian bekas yang dijual tersebut, harganya jauh lebih murah dibandingkan pakaian baru yang sejenis.
Kemudian, faktor lain yang mendorongnya, adalah karena pendapatan anak negeri ini yang sebagian besar masih tergolong rendah ditambah adanya unsur keinginan yang kuat untuk menjaga gengsi.Â
Kedua faktor ini sebenarnya bukan merupakan rahasia umum lagi, untuk itu  saya merasa perlu mengupasnya lebih mendalam lagi.