Mohon tunggu...
Amiatun Nazila
Amiatun Nazila Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN SAIZU

SEORANG MAHASISWI UIN SAIZU

Selanjutnya

Tutup

Diary

kopi pahitku

20 Desember 2024   11:04 Diperbarui: 20 Desember 2024   11:04 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Di sudut kota yang ramai, di mana suara kendaraan bersahutan dan langkah kaki berlomba-lomba, terdapat sebuah kafe kecil yang selalu dipenuhi aroma kopi yang menggoda. Di situlah aku, seorang perempuan berusia dua puluh satu tahun, sering menghabiskan waktu. Namun, di balik senyumku yang ramah dan tawa yang mengalun, tersimpan secangkir kopi pahit yang tak pernah bisa kuhabiskan.

Sejak usia sembilan tahun, hidupku berubah selamanya. Ibu, sosok yang selalu ada di sampingku, yang mengajarkan arti cinta dan kasih sayang, pergi meninggalkanku dalam sekejap. Dia pergi tanpa pamit, tanpa pesan, seolah dunia ini terlalu berat untuk dipikulnya. Hari itu, langit mendung, seolah merasakan kesedihanku. Aku ingat betul bagaimana aku berdiri di depan pintu rumah, menunggu sosoknya kembali, berharap itu hanya mimpi buruk yang akan segera berlalu.

Setiap tahun berlalu, rasa kehilangan itu tak kunjung pudar. Di usiaku yang masih belia, aku belajar untuk mengisi kekosongan itu dengan berbagai cara. Aku menulis, menggambar, dan berusaha menemukan kebahagiaan di tempat-tempat yang pernah kami kunjungi bersama. Namun, setiap kali aku meneguk secangkir kopi, rasa pahitnya selalu mengingatkanku pada kenangan yang tak bisa kuubah. Seolah setiap tetes kopi itu adalah air mata yang tertahan, mengalir dalam setiap seruputan.

Di kafe ini, aku sering melihat pasangan-pasangan yang tertawa, berbagi cerita, dan saling menggenggam tangan. Mereka tampak bahagia, sementara aku terjebak dalam bayang-bayang masa lalu. Aku ingin merasakan kebahagiaan itu, tetapi setiap kali aku mencoba, bayangan ibuku selalu menghantui. Suaranya, tawanya, dan pelukannya seolah terukir dalam setiap sudut hatiku. Aku merindukannya dengan cara yang tak terlukiskan, seperti merindukan matahari di tengah malam.

Kini, di usia dua puluh satu, aku berusaha untuk bangkit. Aku belajar bahwa kesedihan adalah bagian dari perjalanan hidup. Setiap kali aku meneguk kopi pahitku, aku mengingat semua pelajaran yang diajarkan ibuku. Dia mengajarkan untuk tidak menyerah, untuk terus berjuang meskipun dunia terasa kelam. Dalam setiap seruputan, aku merasakan kehadirannya, seolah dia masih ada di sampingku, memberikan semangat dan harapan.

Kopi pahitku bukan hanya sekadar minuman. Ia adalah simbol dari perjalanan hidupku, dari rasa kehilangan yang mendalam hingga harapan yang tak pernah padam. Dalam setiap cangkir, aku menemukan kekuatan untuk melanjutkan hidup, untuk menghargai setiap momen yang ada. Meskipun rasa pahit itu takkan pernah hilang, aku belajar untuk menerimanya sebagai bagian dari diriku.

Di kafe kecil ini, aku menatap langit yang mulai cerah. Aku tahu, meskipun ibuku telah pergi, cintanya akan selalu bersamaku. Dan dengan secangkir kopi pahit di tangan, aku siap untuk menulis bab baru dalam hidupku, dengan harapan dan impian yang takkan pernah padam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun