[caption id="attachment_396665" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi Kota Jakarta. (Kompas.com/Adysta Pravitra Restu)"][/caption]
Beberapa hari terakhir ini di beberapa koran nasional baik cetak maupun online saya sering melihat artikel tentang Jakarta yang (katanya) dinobatkan sebagai kota paling tidak aman di dunia (sebuah kanal online malah menyebut paling tidak aman sejagat,wow! Kota-kota di Pluto kalah dengan Jakarta!).
Teman-teman sayapun sempat ramai membicarakan tentang berita tersebut. Beneran ngga’ sih Jakarta tempat yang paling tidak aman sedunia?
Saya pribadi belum membaca artikelnya secara utuh dan hanya membaca judulnya saja. Saya pernah tinggal di Jakarta coret selama beberapa tahun dan hal yang paling saya benci adalah ketika saya harus pergi ke tengah Jakarta.
Jakarta memang ribet, bising, macet, berpolusi, borju, kotor, banjir, dan lain-lain. Hal-hal paling jelek yang bisa kita temukan di kota-kota di daerah bisa kita temukan semuanya di Jakarta. Tapi entah kenapa saya kok ngga yakin ya kalau ada organisasi yang menyebut Jakarta kota paling tidak aman….
Akhirnya kemarin malam sepulang kantor saya iseng-iseng googling dengan kata kunci “Jakarta Kota paling tidak aman di dunia 2015”. JEBRET! Langsung muncul tautan-tautan berbagai media online yang intinya memberitakan hasil penelitian itu.
Satu persatu saya baca artikelnya semua berasal dari sumber yang sama The Economist Intelligent Unit dengan laporan Safe Cities Index 2015. Penelitian ini dipayungi oleh The Economist. Oke The Economist punya nama di dunia majalah ekonomi. Jadi saya yakin metode penilitiannya pasti cukup kredibel. Wah, berarti bener dong Jakarta paling tidak aman, pikir Saya. Okelah akhirnya saya lanjutkan membaca laporan SCI 2015 itu.
Eng Ing Eng, baru saja saya membaca dua atau tiga paragraf pertama setelah daftar isi sudah ada tulisan berikut dari tim peneliti:
“The Index focuses on 50 cities selected by The Economist Intelligence Unit (EIU), based on factors such as regional representation and availability of Data. Therefore, it should not be considered a comprehensive list of the world’s safest cities (ie, a city coming number 50 in the list does not make it the most perilious place to live in the world)”
Ealah, dari sini sebenernya sudah menjawab penasaran saya. Paragraf di atas kurang lebih artinya seperti ini: “Indeks yang saya bikin ini dibuat berdasarkan lokasi kota dan ketersediaan sumber data saja lho, ini bukan daftar kota teraman di dunia. Jadi walaupun urutan no 50 bukan berarti kota itu kota paling busuk mampus di dunia”. Benar dugaan saya bahwa sebenernya Jakarta itu ngga dinobatkan sebagai kota paling ngga aman di dunia, tapi Jakarta berada di urutan terbawah di 50 kota utama yang dipilih oleh The Economist.
Tapi walaupun begitu saya masih penasaran kriteria apa saja sih yang mereka nilai kok Jakarta bisa seburuk itu poinnya? Ternyata mereka melakukan penilaian di 4 kategori:
a.Digital Security
b.Health Security
c.Infrastruktur Security
d.Personal Safety
Digital security ini kota-kota Asia Timur yg ber IT tinggi ada di urutan atas. Jelas dong Jakarta kan masih low tech kalo dibandingkan dengan Tokyo atau Seoul. Beberapa kriterianya adalah keberadaan cyber security team dimana Jakarta (negara kita) tidak punya, bahkan Jokowi kemarin baru ada wacana bikin Badan Siber Nasional kan? Kita punya Cyber Crime Unit di Polri sebenarnya tapi mungkin karena kurang canggih ya kalau dibanding CCU negara lain. Selain itu digital security ini termasuk pencurian data dan identitas dan awareness masyarakat tentang dunia maya (dunia maya ini bahaya tau ga Cuma sebatas FB, Twitter, sama Path doang). Orang kita konek wifi sembarangan. Password jg banyak yg cm nama dibolakbalik. Dan kejahatan kartu kredit cukup bikin card holder ngeri-ngeri sedap (kartu kredit saya pernah jd korbannya) Oke deh ini bener, digital security kita memang sangat rendah dibanding negara lain. Dan sepertinya pemerintah masih ketinggalan jaman banget buat menyadari keamanan digital ini. Belum ada upaya nyata untuk meningkatkan keamanan digital
Health security ini negara kita urutan 44. Dari 4 kategori Jakarta dapat nilai tertinggi di sini. Kriterianya adalah ketahanan suatu kota dari wabah penyakit dan bencana alam. Hohohohohoho kalau ini sih ajaib banget kalau seandainya Jakarta bisa masuk 10 besar. Rasio tenaga kesehatan dan pasien di Jakarta itu jelek sekali. Kita sangat kekurangan tenaga kesehatan yang professional. Selain itu gaya hidup penduduk sebuah kota dan tingkat polutan juga menyumbang ranking buruk untuk Jakarta ( Yah, sama sama tau lah ya)
Infrastructure security. Ini mengukur tingkat infrastruktur terutama transportasi di Jakarta. Jumlah pedestrian, jumlah angkutan masal, dan kedisiplinan pengendara mobil/motor sangat berpengaruh di sini. Ketersediaan listrik dan air juga dipertimbangkan di kategori ini. Selain itu tingkat kecelakaan yang merajalela juga turut andil membuat rangking Jakarta semakin jongkok.
Personal safety. Keamanan pribadi. Kategori ini agak unik karena dulu saya pernah membaca jurnal tentang perbedaan persepsi keamanan tiap-tiap orang di negara yang berbeda-beda. Ada beberapa negara yang memiliki tingkat kriminalitas yang sama dalam statistik namun pada kenyataanya negara A jauh lebih aman dari negara B dan C. Kenapa? Ternyata di negara A kriminalitas yang terjadi hanyalah sebatas copet dan tariff taksi argo kuda, sedangkan di negara B dan C adalah kejahatan pembunuhan senjata tajam dan pemerkosaan. Membedakan jenis kriminalitas sangat penting dalam membaca statistik. Dalam hal ini disebutkan pula di laporan SCI 2015 bahwa walaupun tinggi kriminalitas di Jakarta hanya sebatas petty crime dan bukan jenis kejahatan kekerasan (violent crime). Lembaga keamaan negara (Polisi) juga sangat berpengaruh dalam kriteria ini. Kinerja Polri dan tingkat kepercayaan publik dipertimbangkan pula di sini. Ini memang PR buat Kepolisian kita untuk membuat masyarakat percaya dan kembali merasa aman.
Nah dari keempat kategori inilah SFC 2015 dibuat. Di kategori apa Jakarta paling buruk? Di Digital Security dan Infrastructure Security, Jakarta menempati urutan 48 di kedua kategori itu. Di kategori Health Security Jakarta di urutan 44 dan Personal Safety berada di urutan 45. Secara umum Jakarta masih sulit bersaing city by city. Penelitian ini melihat Jakarta sebagai Jakarta, yaitu sebuah kota dan segala isinya. Penelitian ini tidak hanya melihat kinerja pemprov Jakarta atau kesadaran lingkungan penduduknya saja namun melihat suatu kota secara utuh. Makanya saya agak sebel juga kalau melihat orang berkomentar saling menyalahkan tanpa membaca laporan ini secara utuh. Baca laporannya, pahami isinya, dan ambil manfaatnya. Intinya adalah tidak benar Jakarta adalah kota paling tidak aman di dunia. Tidak benar pula bahwa Jakarta jadi juru kunci karena banyak preman, banyak pendatang, sering banjir, atau karena pemimpin-pemimpin yang tidak becus. Empat kategori tadi adalah masalah kita bersama, masalah warga Jakarta. Jangan saling hina dan saling tunjuk.
Jangan mudah terprovokasi dengan apapun yang kita baca tanpa melakukan cek dan ricek. Jangan pula menyampaikan berita secara tidak utuh dengan membuang konteks di mana dan bagaimana seharusnya berita tersebut dilaporkan. Berita yang paling berbahaya bukanlah berita yang salah, melainkan berita yang benar namun disampaikan secara selektif. Berita yang salah akan dengan mudah dipatahkan jika kita mau repot melakukan kroscek, namun berita benar yang disampaikan secara selektif tidak akan bisa dipatahkan jika kita tidak mau repot-repot memahami isi berita tersebut dalam konteks yang sesungguhnya.
Surabaya, 2015. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H