[caption caption="http://sd.keepcalm-o-matic.co.uk"][/caption]Maret, delapan tahun yang lalu
miss_chocolate : mau blg apa?
me : ngga kok, cuma..
miss_chocolate : cuma apa?
me : aku sayang kamu, Anna
*hening beberapa menit*
miss_chocolate : aku hargai cintamu, tapi
bukan berarti aku juga sama kaya kamu ya
me : iya gpp, aku minta maaf, yg penting aku uda ungkapin perasaanku, terserah kamunya gimana
miss_chocolate : :)
me : :)
Selesai sudah. Ini cinta pertamaku dan aku ditolak. Kututup aplikasi sialan itu. Ingin pergi jauh rasanya. Melupakan segala yang ada. Kupencet nomor agen travel langgananku.
"Halo, tolong cek jadwal keberangkatan ke kota X untuk besok pagi."
**************
Maret, delapan tahun kemudian.
Dag dig dug jantungku berdebar. Akankah aku menelpon orang ini? Dia bukan orang sembarangan. Kunjungannya ke kotaku kali ini membuatku ingin menitipkan barang pada ayahku yang tinggal satu kota dengannya. Sebenarnya aku malu, tapi apa boleh buat. Mumpung ada yang datang. Jarang sekali orang yang berasal dari kota ayahku tinggal berkunjung kemari.
Apalagi, putrinya adalah orang yang pernah menolak cintaku.
Kupencet juga nomornya. Deru jantungku semakin cepat ketika suara seorang wanita kudengar dari seberang sana.
"Halo, siapa?"
Ya, aku kenal suara itu. Sangat mengenalnya. Dan tak kusangka, dirinya ikut dalam kunjungan kali ini.
"Bisa bicara dengan dr. Thariq?" Sahutku tenang. Tenang yang dibuat-buat.
"Lagi di kamar mandi, dari siapa?"
Aku terhenyak. Tak mungkin kusebut namaku sekarang.
"Dari Syari' Sittin," kusebut salah satu distrik di kota ini, tempat tinggalku sekaligus tempat yang pasti dikenal oleh dr. Thariq.
"Coba hubungi lima menit lagi, ya," jawabnya. Merdu sekali aku mendengarnya. Ya, ternyata aku masih mencintainya.
"Tolong sampaikan, mau nitip barang buatSayed*Abdullah Syarif."
"Oh, iya. Nanti saya sampaikan."
"Terimakasih, assalamualaikum."
Telpon kututup sebelum salamku dijawab. Cukup sudah jiwaku dibuatnya melayang malam ini.
Aku duduk terpaku memandangi layar handphone, menunggu panggilan balik. Sembari berharap dirinya yang menelpon.
Satu pesan masuk kuterima. Cepat-cepat kubuka. Benar, dari nomor yang kutelepon barusan.
Saya mau keluar malam ini, silahkan antar saja ke hotel Hilton kamar 714 malam ini. Mohon maaf.
Apa?! Aku harus kesana? Berarti, aku pasti ketemu... Ah, entah ini mujur atau hancur. Yang jelas, aku perasaan gembira, bingung menjadi satu.
Kuhela nafas, kubulatkan tekadku. Malam ini aku harus kesana. Tak ada pilihan lain.
*********
Kuketuk pintu kamar itu. Tertulis 714. Semoga tidak salah kamar.
Sekali, dua kali, tiga kali. Tak ada jawaban. Kulirik jam tanganku, pukul sepuluh. Mungkin sudah tidur. Hampir saja aku beranjak pergi. Tiba-tiba pintu bergeser sedikit. Kudengar suara dibalik pintu, tanpa kulihat rupa.
"Cari siapa?"
Aku bersumpah itu adalah dirinya. Suara yang sama dengan yang di telepon tadi. Suara yang delapan tahun yang lalu sering kudengar, hingga cintaku ditolak di penghujung bulan Maret dalam sebuah chat.
"Ini kamar dr. Thariq?" Aku memastikan hal yang sudah pasti.
"dr. Thariq lagi keluar."
"Saya mau nitip barang, tadi sudah telepon," kataku pelan.
"Oh, iya," jawabnya sambil mengulurkan tangan dari balik pintu. Hanya tangan putih yang kulihat, bukan wajahnya. Tampak kurus sekali tangan itu.
Apa yang membuatmu kurus, Anna? Apakah kau juga dipermainkan oleh cinta? Sebagaimana diriku, yang sudah kurus kering sejak kau tolak cintaku delapan tahun yang lalu?
Kuletakkan barang titipanku di bawah celah pintu yang sedikit terbuka itu. Kubiarkan tangan indahnya kosong. Takkan kubiarkan barang itu menutupinya.
"Eh, maaf ya saya lagi nggak pake kerudung, jadi nggak bisa keluar," jawabnya setelah kaget aku meletakkan barang di bawahnya. Tak memberikannya langsung.
"Iya, maaf merepotkan. Terimakasih banyak," ucapku.
"Sama-sama, dari siapa?"
"Samy Abdullah Syarif," kali ini aku harus menjawab.
Tak kudengar suara dari sana. Hening beberapa detik. Entah dia tak mendengar namaku, atau dia sedang terperanjat. Dan itu yang aku harapkan.
"Oh, iya nanti disampaikan."
Pintu ditutup. Selesai sudah tugasku malam ini. Tugasku mengantar titipan, dan membuat sebuah sejarah kembali terulang.
**************
Maret, beberapa tahun setelah malam itu.
Tak kusangka pagi ini aku memakai sorban di kepala yang dihiasi bunga-bunga. Setelah kuucapkan beberapa kata sakral tadi, aku berjalan diiringi para sahabat dan keluargaku. Menaiki sebuah kuade. Disana kulihat wanita cantik mengenakan gaun putih yang indah. Dengan jilbab yang menutupi rambutnya. Kudekati dia, lalu kudengar sorak gembira dari para wanita di sekekelilingnya. Kulihat wajah indahnya lekat-lekat. Dia tersipu. Kupegang dagunya, kuangkat sedikit wajahnya.
"Berapa harga cintaku yang dulu pernah kau hargai?" Kataku lembut tapi tegas. Dia tersenyum malu. Rona pipinya menghiasi wajah indah itu. Dia benar-benar diam seribu bahasa.
"Hari ini, akan kutukar harga cintamu dengan nyawaku," senyumku sembari mengecup dahinya.
Sorak sorai semakin meriah. Mewarnai kegembiraanku hari itu. Hari dimana chocolate-ku yang dulu, kini telah berubah menjadi brownies.
Makkah, 31 Maret 2016Â
* : TuanÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H