Aku tersadar. Mataku terbuka pelan-pelan. Berat sekali. Ini dimana? Semua ruangan serba putih. Selang infus menancap di tangan kiriku. Dan juga beberapa selang yang mirip kabel semrawut di beberapa bagian tubuhku. Kudengar bunyi alat pendeteksi detak jantung. Benar saja, itu detak jantungku. Aku bersyukur, seorang kakek berusia 70 tahun ini masih diberi kesempatan hidup. Kutengok ke samping kiri, Nadya, putri sulungku tertidur dengan kepala menyandar di ranjang. Ah iya, aku ingat sekarang. Penyakit kanker hati yang sudah kronis membuatku tak sadarkan diri beberapa waktu lalu. Dan, tiba-tiba saja aku sudah disini sekarang.
“Selamat pagi.”
Kudengar sapaan ramah dari samping kanan. Kutengok pelan-pelan. Seorang wanita tua sebaya denganku sedang tersenyum di atas ranjangnya. Ruangan ini hanya dipisah oleh korden yang kini terbuka.
“Selamat pagi,” balasku dengan senyum yang berat.
“Selamat datang juga di sini, saya datang dua hari sebelum Anda.”
“Oh, semoga lekas sembuh,” jawabku tanpa ingin meneruskan percakapan. Kepalaku masih berat.
“Saya kanker hati, sama seperti Anda.”
Aku hanya bergumam lirih. Tampaknya dia tipe orang yang banyak bicara.
“itu putri Anda? Wah beruntung mempunyai putri sepertinya, sangatlah baik juga ramah.”
“iya, Anda bersama siapa di sini?” terpaksa aku harus menjawab dan balik bertanya pula.
“Saya belum menikah,” tukasnya, “jadi tak punya anak untuk menemani.”