Mohon tunggu...
Ami Ibrahim
Ami Ibrahim Mohon Tunggu... -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Membaca Demonstran dari Lorong Kambing - Membaca Amran Razak

25 Februari 2015   09:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:32 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14248048941644402940

Judul Buku      : Demonstran Dari Lorong Kambing
Penulis            : Amran Razak
Penerbit          : Kakilangit Kencana

Cetakan Pertama, 2015
Jumlah Halaman : 285
ISBN : 976-602-8556-48-4

Membaca Demonstran dari Lorong Kambing
Membaca Amran Razak

Oleh Ami Ibrahim

Sejarah, kata orang-orang, adalah pergulatan melawan lupa. Sebuah pergulatan yang hampir abadi, karena setiap saat, kita semua didera ingatan-ingatan baru, sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan kita. Yang lama, baik peristiwa, momentum, kesan dan pelaku, umumnya akan tenggelam dan terlupakan. Dengan demikian, sejarah adalah ingatan yang harus dirawat, dikonstruksi ulang, ditafsir dan tentu saja dituliskan kembali.

Membaca buku Amran Razak “Demonstran dari Lorong Kambing” yang terbit belum lama berselang, kita akan berjumpa dengan hasil sementara pergulatan melawan lupa tadi, dengan konstruksi yang sangat menawan. Melalui tuturan semi-biografis – katakan saja begitu, buku setebal 285 halaman ini, dengan jernih mendeskripsikan peristiwa yang dilibati tokoh-tokohnya, dengan Amran Razak sebagai sentrum cerita sekaligus penutur. Kalau tidak segera sadar untuk meletakkan buku ini pada konteks yang tepat, kita dapat beranggapan bahwa isinya akan melulu pengakuan sepihak dari seorang tokoh yang ingin dikenang dan mendapat tempat. Karena demikianlah risiko yang lazim ditanggung sebuah buku biografi. Tetapi yakinlah, “Demonstran” diramu dengan tulus untuk hanya sampai pada posisi “menuturkan” atau “menyampaikan”, atau lebih tanpa pretensi: “mencatat”. Dan di sanalah letak keistimewaan dan keindahan buku ini.

Maka marilah, pertama-tama, kita menempatkan lorong kambing sebagai titik tolak kehadiran Amran Razak sebagai tokoh. Lorong ini tentu berbeda sangat kontras dengan Jalan Arif Rate atau Jalan Sungai Tangka, wilayah lain yang belakangan menjadi basis pergaulan masa remajanya bersama anak-anak lapisan atas kota Makassar. Lorong kambing adalah tipikal gang, hunian perkotaan yang sesak penduduk, dimana rata-rata warga adalah kelas sosial bawah: para pekerja harian, pegawai rendahan, buruh dan tukang becak, pengangguran. Dalam deskripsi Amran Razak, lorong ini adalah wilayah egaliter dimana orang-orang saling mengenal, saling mendukung dan melindungi. Disana mereka membentuk solidaritas khas rakyat bawah dimana hampir setiap urusan adalah urusan bersama, apalagi urusan publik. Tak heran, jika kemudian Amran yang berhasil meraih lompatan status menjadi mahasiswa, masih bersahabat karib dengan para tukang becak, pemilik dan penjaga warung kopi dan apalagi sahabat-sahabat masa kecilnya. Hampir semua sahabat masa kecilnya tetap ia kenal hingga kini. Juga orang-orang tua yang menjadi saksi pertumbuhannya.

Keberanian yang menjadi ciri khas anak-anak lorong – sama dan sebangun dengan anak-anak tangsi atau anak kolong di wilayah lain, adalah karakter dasar-bawaan yang mekar ketika kemudian Amran menjadi aktivis mahasiswa. Egalitarianisme khas gang perkotaan berkembang dalam dirinya ketika menemu konfirmasi bacaan kiri masa-masa mahasiswanya, masa ketika ideologi pembangunan banyak ditentang melalui sosialisasi dan diskursus ideologi tanding seperti pembangunan yang membebaskan, pendidikan kaum tertindas dll., melalui kelompok-kelompok studi mahasiswa dan kegiatan-kegiatan LSM awal. Keberanian dan egalitarianisme itu kemudian dipadu dengan romantisme posisi strategis mahasiswa sebagai agen perubahan seperti diajarkan para senior di kampus. Kampus yang hanya sepelemparan batu dari lorong kambing, sehingga secara ruang begitu mudah diakses, tetapi secara sosial justru membutuhkan tekad, perjuangan keras dan bahkan dalam pandangan anak-lorong, memerlukan perjuangan sosial untuk bisa dijangkau. Meraih status mahasiswa yang amat istimewa itu adalah anugerah dan keberuntungan dan justru harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tafsir atas kesadaran yang tumbuh dan mekar inilah tampaknya yang menjadikan Amran tidak sekadar seorang mahasiswa, lalu menjadi aktivis, tetapi juga menjadi sosok penting dalam perjuangan mahasiswa lantaran dia adalah figur dengan latarbelakang lengkap untuk visi perjuangan mahasiswa.

Dia tentu tidak miskin-miskin amat. Ayahnya seorang pegawai negeri. Tetapi dia terlanjur tercelup dalam atmosfir penindasan dan ketimpangan nyata di lingkungannya sehingga sensitifitasnya terhadap rasa keadilan justru menjadi pendorong bagi keberanian tindakan-tindakannya. Peristiwa Toko La yang diceritakannya di dalam buku ini, misalnya, merupakan wujud kepekaan tersebut dimana keberaniannya menemukan momentum untuk tampil. Dia pun menjadi buron, kemudian menjadi tahanan, sebuah status impian para penggerak perubahan, sesungguhnya, karena seperti ungkapan Chairil Anwar: sekali berarti sudah itu mati. Dan dalam gambar yang lebih besar, Amran benar-benar berada dalam pusat perlawanan terhadap kekuasaan dan kekuatan Orde Baru di Makassar ketika itu, kira-kira paralel dengan apa yang dilakukan kawan-kawan aktivis mahasiswa di Jakarta dan Bandung pada era yang hampir sama dan kemudian juga menjadi tonggak-tonggak perjuangan mahasiswa melawan rezim yang sedang berjaya.

Membaca buku ini, tampak benar bahwa Amran lahir dan menjadi tokoh justru lebih disebabkan oleh karakter dasarnya sendiri yang menyeruak menemukan lingkungan dan waktu tepat. Dia mungkin berbeda dengan tokoh-tokoh demonstran lainnya tetapi mereka seperti dipertemukan dalam suatu jaman dimana secara alamiah memang harus lahir tokoh untuk menjadi pembuka jalan bagi perlawanan atau koreksi. Pertemuan tersebut tentu saja bernama idealisme, dalam hal ini idealisme mahasiswa, sebuah kualitas yang hanya dapat tumbuh dan terjaga di dalam diri orang-orang berkarakter. Karena ujian besar idealisme jenis ini justru muncul ketika demonstrasi sudah usai, usia makin menanjak dan transformasi sosial harus terjadi ketika gelar kesarjanaan sudah di tangah. Menjadi pegawai negeri, misalnya. Pada awalnya Amran amat rikuh dengan status itu. Sajak Pegawai Negeri yang ditulisnya pada periode itu menyiratkan kerikuhan itu. Hidup mapan sebagai “mantan pejuang” bukanlah sebuah impian, tetapi malah bisa jadi merupakan jebakan. Apalagi kemudian, seperti umumnya para mantan aktivis, harus terlibat dengan urusan yang lebih besar dan lebih menggiurkan godaannya.

Sejauh ini, Amran tetap teguh pada prinsip-prinsipnya. Karir yang dijalaninya terkesan biasa-biasa saja. Bisa diduga, di dalam dirinya tetap bersemanyam nilai-nilai yang dianutnya pada masa lalu dan berhasil dirawatnya dengan baik. Sebuah sikap yang lahir dari karakter dasarnya yang terbentuk di lorong kambing, tempat keberanian dan egalitarianismenya mulai berkecambah pada masa muda.

Buku ini sangat enak dibaca, malah bagi saya pribadi nyaris prosais, dengan tata bahasa terjaga, data dan fakta akurat dan terkonfirmasi. Jangan lupa, Amran menuliskannya ketika dia telah melampaui jenjang akademis tertinggi dimana metodologi adalah pokok dalam menyampaikan pendapat, termasuk dalam mengekspresikan diri, menuturkan cerita. Dan dengan demikian, buku ini adalah sejarah, buku sejarah gerakan mahasiswa di Makassar.

Jakarta, 25 Februari 2015

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun