Mohon tunggu...
Ami Ibrahim
Ami Ibrahim Mohon Tunggu... -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Bon Voyage Mr. President"

27 Maret 2018   11:17 Diperbarui: 27 Maret 2018   11:21 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (pixabay)

Memimpin itu sepi. Ketika Anda berada di puncak, udara akan terasa tipis, suhu amatlah dingin dan di sekeliling yang ada hanya sunyi. Tetapi sebagai pemimpin, pemegang kuasa, anda tentu tak akan berdiam diri dalam tirakat. Ihwal paling dini yang mungkin dilakukan adalah konfirmasi, yaitu sebuah aksi untuk memuaskan naluri ingin-tahu---apakah seluruh perhatian, kepatuhan, pengabdian, penghormatan dan seterusnya benar berada pada tempatnya dan berjalan dengan baik. Anda akan menjadi narasumber utama, hulu dari seluruh arus kebenaran. Dengan demikian, memimpin adalah perjuangan personal untuk tahu.Atas dasar itu pula, penyelenggaraan kepemimpinan dan pengelolaan kekuasaan mengenal cara, tatacara dan upacara yang dalam preposisi Clifford Geertz disebut sebagai teater.

Deskripsi kepemimpinan-sepi dimaksud, tentu amat ekstrim, sebab di luar aras psyko-personal tersebut, ada penopang institusional yang mengenal hukum-hukumnya sendiri. Untuk tiba di puncak, sebagaimana diajarkan oleh para mafia dalam buku Mafia Manager (1991) yang ditulis anonim oleh "V", disebutkan bahwa untuk mencapai puncak Anda harus mendaki. 

Modal utama mendaki puncak ialah kerja keras, buka mata dan telinga dua puluh empat jam, tega kepada diri sendiri. Tetapi yang utama dan pertama-tama Anda harus masuk ke dalam lingkaran. Artinya, siapapun yang bahkan tanpa bakat, dapat mencapai yang tertinggi, sepanjang pertama-tama ia berada dalam sirkum-permainan. Di lingkaran itu pasti ada patron, penguasa terdahulu, mereka yang harus dipatuhi, kalau perlu dijilat, karena merekalah pembuka dan perintis jalan yang akan dilalui. Cara, tatacara dan upacara, kemudian menjadi lapangan permainan duapuluh empat jam untuk mengenali dan menguji kemampuan, kekuatan, tekad, dorongan, taktik dan strategi---ringkasnya seluruh potensi manusiawi yang dimiliki. "Kalau harus menangis dan merengek seperti bocah, menjilat telapak kaki para boss dan memutus kelingking para saingan, untuk meraih yang diinginkan, lakukanlah dengan sungguh-sungguh tanpa keraguan, karena itulah hukum yang berlaku di dunia ini," begitu kira-kira nasihatnya.

Terbayangkan betapa keras dan kejam "lingkaran-kuasa" itu dan betapa rapuh posisi kita---siapapun kita saat ini dan di dalam sistem manapun kita berada. Seorang profesional pada sebuah korporasi, seorang pekerja pada sebuah pabrik, seorang freelanceryang selalu dibayangkan "merdeka" atau bahkan seorang pengangguran yang tak memiliki pekerjaan, tak dapat mengelak dari lingkaran dan susunan cara hidup yang disebut lingkaran-kuasa itu. Pada saat yang sama, naluri manusiawi kita pun tak terelakkan untuk senantiasa punya impian untuk berada di puncak---wilayah aman dimana paling minimal menjadi pemimpin gerak naluriah kita sendiri. Dan sekali lagi, di sana udara sangat tipis, suhu amat dingin dan yang ada hanya sunyi.

Setidaknya itulah yang dialami seorang mantan Presiden sebuah negara di Karibia yang diasingkan ke Jenewa untuk menjalani pengobatan atas penyakitnya. Sebagai seorang mantan dalam pengasingan, seluruh kuasa telah tanggal. Gaya hidup, atribut paling depan dari kekuasaan, telah luruh. Kini dia tinggal pada sebuah flat sederhana, menjalani berminggu-minggu diagnosa untuk penyakit yang tak pernah ditemukan penyebabnya. Akhirnya, "tidak ada yang bisa kulakukan kecuali memperhatikan diriku sendiri," katanya pada sopir ambulans rumah sakit, seorang relawan pada masa kampanye kepresidenanya dahulu yang juga terdampar di Jenewa sebagai pekerja kasar.

Benar, setidaknya dalam cerita Bon Voyage Mr. President (1995), panyair peraih nober Gabriel Garcia Marquez menggambarkan dengan liris betapa puncak kuasa nan sepi itu, seusai dijalani, akan melemparkan kembali seseorang ke kesunyian lain---sebuah pengasingan yang penuh kenang-kenangan, dengan suhu sedingin Jenewa, Switzerland, dimana tak mungkin ada yang akan mau membeli jam tangan bekas bahkan koleksi seorang mantan Presiden sekalipun. Di hadapan dokternya, Tuan Presiden bertanya dimana sesungguhnya letak penyakitnya. Dan sang dokter menjawab, "di sini," sambil meletakkan telunjuk di pelipisnya sendiri.

Jakarta, 22 November 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun