Arge Salah Satu Definisi Bugis-Makassar
Â
Tanpa maksud berlebihan, Rahman Arge adalah salah satu definisi Bugis-Makassar. Perjalanan hidup dan karirnya, pengembaraan intelektual dan ekpresi keseniannya, kharisma dan sikap politiknya serta selera humor dan sikap flamboyannya, adalah hasil sintesa yang amat tepat menggambarkan Bugis-Makassar. Kepergiannya tentu merupakan penutup bab dalam buku kehidupannya sebagai sebuah eksistensi yang tak pernah final, lelaki yang didera kesepian abadi, bura'ne na bura'nea, seorang yang terobsesi mate-risantangi. Tetapi kepergian itu juga yang membuka bab berikutnya untuk menafsir apa yang telah ditorehkannya, warisan apa yang sepanjang hayat telah dipersiapkan untuk ditinggalkan bagi kita semua. Arge seorang otodidak yang mempesona. Melahap Sartre, memuja eksistensialisme tetapi hanya sampai disitu, sebab sebagai seorang yang tumbuh dalam bayang-bayang latar Nahdhatul Ulama, keterpesonaannya kepada Barat hanya sampai pada "mengambil bahan" dan tak pernah menjadi pemeluk teguh.  Ia menyutradarai Monserrat dan membaca Caligula tapi tidak menjadi penganut Albert Camus - ia malah mentransformasi spirit sosio-kultur Gowa menjadi I Tolok, sebuah drama dengan ending yang sangat eksistensial ketika lelaki bersifat Robin Hood itu dengan gagah menyongsong tombak-tombak maut para pemburunya di tengah perhelatan yang digelar Baco Patte'ne. Menegakkan kebenaran dengan membela harga diri dan kehormatan, tak bisa lain, ialah menyongsong kematian sebagai lelaki, bura'ne na bura'nea, tumpas dalam pertarungan sampai titik darah penghabisan dalam keteguhan sikap, keberanian tindak dan keyakinan diri yang penuh. Dalam I Tolok, Rahman Arge melukiskan secara visual-dramatik keindahan kematian itu sebagai mate-risantangi - kematian bersantan. Dalam beberapa kesempatan, Arge kerap melukiskan laku eksistesial kematian itu setara dengan nilainya dengan bushido dalam kuktur Jepang, bedanya ialah bahwa dalam I Tolok motifnya lebih bersifat sosial sementara bushido lebih bermakna personal, meski keduanya ialah upaya menyongsong kematian untuk menjaga kesucian harga diri. Siri'. Kepergian Arge, seperti juga peristiwa kematian lainnya, membuktikan netapa fana jasad atau tubuh dan betapa eksistensi berkemungkinan kekal di dalam nama, di dalam ingatan dan di dalam penanda yang ditinggalkan.  Sebagai politisi, Arge adalah seorang yang dapat dipandang sebagai penanda politik representasi di bawah sistem Orde Baru. Pernah duduk mewakili Partai NU di DPRD, ia kemudian menjadi kader Golkar dengan jam terbang 15 tahun di DPRD Propinsi dan 5 tahun di DPR RI. Karir politik tersebut dijalani karena Arge adalah representasi seniman, budayawan dan wartawan. Tiga aras profesi atau predikat yang memerlukan keterwakilan dalam politik. Bagi Arge, hal ini tentu bukan jalan mudah yang dapat diraih sekali jadi. Pencapaiannya di dunia kesenian, khususnya seni teater dan film, aktivitas tak lelahnya mengurus organisasi wartawan dan buah pikiran kebudayaannya yang antara lain dapat dibaca dalam esai-esainya adalah merupakan harta karun dalam sistem politik representasi dan pantas memperoleh tempat. Tetapi apakah Arge nyaman di dunia politik yang dilewatinya? Bagi saya yang datang belakangan, menyaksikan betapa Arge adalah seorang yang mengidap kesepian, seorang yang terlempar ke sudut sunyi obsesi-obsesi artistiknya sebagai orang panggung, aktor yang tak pernah habis menggali-gali kemungkinan akting, penulis yang tak jarang merasa sia-sia. Sebagai seorang lelaki flamboyan, setia dengan celana jeans dan boots pantovel, kemeja berwarna berani, Arge adalah manifestasi dari gairah panggung saat pertunjukan sekaligus sunyi renungan ketika tepuk penonton telah surut dan layar telah diturunkan. Karena ia adalah pencinta kehidupan maka kesepianlah motif utama kreativitas - dalam deskripsi visual, ia adalah penulis yang sendiri di depan mesin ketiknya, mengalirkan buah pikirannya dalam esai-esai yang menggetarkan. Dan karena ia lahir dari rahim peradaban Bugis-Makassar dengan kiprah yang patut tercatat dan mendapat tempat - untuk meminjam Chairil Anwar, dan hadir di tengah penjadian Indonesia sebagai utopia, maka tentu tak berlebihan bila saya menyebutnya sebagai salah satu definisi Bugis-Makassar. Selamat jalan, Om Arge, aku tak akan pernah habis membacamu, bercermin atasmu, menulis indah namamu. Kata Sapardi Djoko Damono: "yang fana adalah waktu, kita kekal". Semoga Allah melapangkan tempat yang layak untukmu di sisiNya.  Jakarta, 10 Agustus 2015
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H