Cempaka, tokoh pemegang tongkat emas dan telah penguasa jurus paling digjaya, tentu paham hal itu. Di tangannya, tongkat emas tidak lagi semata senjata penghancur musuh, sang kejahatan, tetapi lebih merupakan daya yang akan menjaga tatanan, penegak kebenaran dan pencipta kebaikan. Pilihannya untuk undur diri dari dunia persilatan tentu sangat manusiawi. Kebesaran, kehormatan dan ketenaran tidak lagi menjadi godaan baginya. Tinggal satu tugas suci yang harus diembannya: mewariskan tongkat emas kepada salah satu dari empat murid perguruannya.
Dari titik inilah film Pendekar Tongkat Emas, produksi Miles Film dengan dukungan Kompas Gramedia Studio, memulai kisahnya. Adalah Biru, Gerhana, Dara dan Angin, empat murid perguruan tongkat emas, tiba-tiba dikejutkan keinginan Cempaka untuk mewariskan tongkat emas kepada salah satu diantara mereka. “Sudah tiba waktunya,” kata Cempaka yang diperankan dengan indah oleh Christine Hakim. Sebagai murid-murid perguruan, dengan tingkatan ilmu berbeda, mereka tentu menduga-duga, kepada siapa tongkat sakti dan seluruh kekuatan yang dikandungnya akan diwariskan. Kenyataan bahwa mereka bukan sekadar murid, tetapi anak-anak angkat yang dipelihara Cempaka, tentu menimbulkan persoalan khas pewarisan kekuatan dan kekuasaan. Biru sebagai sebagai yang tertua tentu merasa berhak. Dia lelaki terkuat dengan ilmu lebih tinggi dari yang lain. Secara tersamar dia didukung Gerhana, perempuan manis yang tak dapat menyembunyikan ambisi. Sementara Dara, gadis kecil nyaris lugu tampak hanya menunggu dan Angin bocah lelaki yang memiliki kekuatan penyembuh dan selalu mendampingi cempaka merawat penyakitnya, tampak pasrah saja.
Cerita pun bergulir di layar antah berantah dunia persilatan. Memilih setting Sumba Timur dengan padang-padang berbukit, langit luas cerah, jalinan cerita, karakter dan adegan pun disempurnakan oleh panorama dan lanskap alam yang luar biasa. Cempaka kemudian memutuskan, tongkat emas diwariskan kepada Dara, diperankan Eva Celia. Biru dan Gerhana tidak dapat menerima kenyataan ini. Mereka berdua, masing-masing diperankan Reza Rahadian dan Tara Basro, pun kecewa. Keduanya memang memendam ambisi untuk merebut tongkat emas dari Cempaka. Ambisi yang diduga terbentuk dari latar belakang mereka, juga Dara dan Angin, adalah anak dari musuh-musuh yang ditaklukkan dan dibunuh Cempaka dalam bertarungan perebutan posisi digjaya di dunia persilatan itu. Keduanya tentu tidak diam. Ambisi yang membakar memunculkan kelicikan, ketamakan dan gelap mata. Sejak lama, keduanya telah bersekongkol untuk menyingkirkan Cempaka. Segala cara dihalalkan, termasuk menggunakan bisa ular mematikan yang perlahan-lahan menggerogoti Cempaka. Di tangah Dara, tongkat emas bukannya aman. Ilmu tongkat emas harus disempurnakan dengan mencari pasangannya. Bersama Angin yang dimainkan aktor cilik Aria Kusumah, atas perintah Cempaka seusai menyerahkan tongkat emas, Dara pun harus memulai pencarian. Cerita pun menanjak. Skenario yang ditulis Mira Lesmana, Jujur Prananto, Eddy Cahyono dan Seno Gumira Adjidarma dengan jernih membentuk atmosfir dunia silat yang hitam putih, penuh intrik, dendam dan balas dendam, pertarungan dan darah, menjadikannya sebuah flat-form lengkap untuk eksekusi. Termasuk kebijaksanaan, sikap-sikap dan prinsip-prinsip dasar yang dipendam dunia silat. Ifa Isfansyah sebagai sutradara pun terbaca bermain amat leluasa di atas flat-form itu. Pemahaman dan penghayatannya atas dunia persilatan, visinya akan kekuatan visual berhasil menyajikan tidak saja gambar yang keren, adegan yang tajam dan permainan aktor melalui penajaman karakter, tetapi juga mempertegas bayang-bayang pesan dibalik adegan-demi-adegan yang disajikannya. Keberhasilannya ialah bahwa seluruh elemen adegan, scene by scene, membuka ruang tafsir yang kaya, termasuk lanskap cerah berawan berganti-ganti yang melukiskan betapa luas kemungkinan semesta persilatan untuk diresepsi dan dimaknai. Hal ini menjadi mungkin karena dukungan penguasaan bahasa film baik teknis maupun filosifis yang meniscayakan pemanfaatan potensi seluruh elemen pembentuk film, termasuk aktor.
Di tangan Dara dan Angin, tongkat emas akhirnya direbut Biru dan Elang. Pasangan ini pun menjadi penguasa dunia persilatan setelah berhasil membunuh pemilik perguruan terkuat dengan modus racun bisa ular. Tetapi tongkat emas tak akan sempurna tanpa pasangannya, jurus tongkat melilit bumi yang hanya dapat diwariskan dan kini dimiliki Elang, pendekar pengembara, yang diperankan Nicholas Saputra. Elang yang terikat sumpah untuk tidak lagi turun gelanggang tak dapat menahan diri untuk membantu Dara merebut kembali tongkat yang menjadi haknya. Didukung para pinisepuh dunia silat, Elang pun melatih Dara, menurunkan jurus rahasia yang menjadi pasangan tongkat emas. Tongkat emas harus kembali kepada yang berhak. Pertarungan penentuan pun tak terhindarkan. Elang dan Dara melawan Biru dan Gerhana.
Pertarungan penentuan memang ihwal tipikal dalam cerita silat. Meski akhirnya putih berhasil mengalahkan hitam, kebaikan mengalahkan kejahatan dan ending yang terpapar selalu dapat tertebak, film Pendekar Tongkat Emas ini mengesankan bahwa cerita sesungguhnya baru bermula. Seperti tawaran yang umumnya dapat kita resepsi dari karya para maestro, dimana karya itu sendiri selalu dipandang sebagai titik stimulasi, mula segala tafsir, awal penciptaan cerita dalam kesadaran, demikian pula kesan umum yang muncul di sini. Artinya, seusai layar surut, beratus bahkan beribu kemungkinan cerita tercipta dalam benak penonton untuk menjadi pemerkaya kesadaran, juga renungan, dus pemerkaya kehidupan.
Sekiranya kesan ini benar, maka hampir dapat diduga bahwa Mira Lesmana dan kawan-kawan, kembali berhasil menancapkan “tongkat emas” di dunia perfileman kita, setelah masterpeace Petualangan Sherina (cerita anak), Ada Apa dengan Cinta (cerita remaja), apalagi di Pendekar Tongkat Emas ini hadir aktor-aktor dengan visi besar melampaui sekadar teknis keaktoran seperti Christine Hakim, Slamet Rahardjo, Reza Rahadian dan Nicholas Saputra. Selain tentu Eva Celia, Tara Basro dan lainnya. Hadir pula Erwin Gutawa menyuguhkan komposisi yang amat khas didasarkan pada bunyi-bunyian tradisional Sumba. Visi besar sutradara Ifa Isfansyah yang bersinergi amat manis dengan Produser Mira Lesama dan Co Prosuder Riri Riza hampir dipastikan telah memberi lebih dari sekadar tontonan tetapi juga penyadaran akan urgensi sebuah film, bagi sebuah bangsa, ihwal yang tak dapat sekadar diringkus dalam frame ekonomi-industri-kreatif yang lagi heboh itu.
Selamat menonton.***
Pondok Kelapa, Jakarta, 18 Desember 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H