Mohon tunggu...
A.M. Fatwa
A.M. Fatwa Mohon Tunggu... profesional -

Fatwa telah menjadi ikon sebuah perlawanan dan sikap kritis terhadap rezim otoriter Orde Lama dan Orde Baru. Itulah sebabnya sejak muda ia sudah mengalami teror dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh intel-intel kedua rezim otoriter tersebut, hingga keluar masuk rumah sakit dan penjara. Terakhir ia dihukum penjara 18 tahun (dijalani efektif 9 tahun lalu dapat amnesti) dari tuntutan seumur hidup, karena kasus Lembaran Putih Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984 dan khutbah-khutbah politiknya yang kritis terhadap Orde Baru. Dari keluar masuk tahanan politik sebelumnya dia mukim di balik jeruji 12 tahun. Meski berstatus narapidana bebas bersyarat (1993-1999) dan menjadi staf khusus Menteri Agama Tarmidzi Taher dan Quraish Shihab saat itu, mantan Sekretaris Kelompok Kerja Petisi 50 itu bersama Amien Rais menggulirkan gerakan reformasi, hingga Presdien Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998. Pernah menjabat beberapa jabatan struktural dan jabatan semi official pada pemda DKI Jakarta dan Staf Khusus Gubernur Ali Sadikin di bidang politik dan agama ini terpilih menjadi wakil rakyat pertama kali dalam pemilu 1999 dari daerah pemilihan DKI Jakarta, dan diamanahi tugas sebagai Wakil Ketua DPR RI (1999-2004). Pada periode 2004-2009 ia terpilih mewakili rakyat dari daerah pemilihan Bekasi dan Depok dan diamanahi tugas sebagai Wakil Ketua MPR RI. Dan pada periode 2009-2014 ia terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dari DKI Jakarta. Pada 14 Agustus 2008 ia dianugrahi oleh Negara berupa Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana di Istana Negara. Dan pada tanggal 29 Januari 2009 ia memperoleh Award sebagai Pejuang Anti Kezaliman dari Pemerintah Republik Islam Iran yang disampaikan oleh Presdien Mahmoud Ahmadinejab di Teheran. Dari buah pikirannya telah lahir tidak kurang dari 24 buku, yaitu: Dulu Demi Revolusi, Kini Demi Pembangunan (1985), Demi Sebuah Rezim, Demokrasi dan Keyakinan Beragama diadili (1986, 2000), Saya Menghayati dan Mengamalkan Pancasila Justru Saya Seorang Muslim (1994), Islam dan Negara (1995), Menggungat dari Balik Penjara (1999) , Dari Mimbar ke Penjara (1999), Satu Islam Multipartai (2000), Demokrasi Teistis (2001), Otonomi Daerah dan Demokratisasi Bangsa (2003), PAN Mengangkat Harkat dan Martabat Bangsa (2003), Kampanye Partai Politik di Kampus (2003), Dari Cipinang ke Senayan (2003), Catatan dari Senayan (2004), Problem Kemiskinan, Zakat sebagai Solusi Alternatif (bersama Djamal Doa dan Arief Mufti, 2004), PAN Menyonsong Era Baru, Keharusan Pengungkapan Kebanaran untuk Rekonsiliasi Nasional (2005), Menghadirkan Moderatisme Melawan Terorisme (2006-2007), dan Satu Dasawarsa Reformasi Antara Harapan dan Kenyataan (2008), Grand Design Penguatan DPD RI, Potret Konstitusi Paska Amandemen UUD 1945 (Penerbit Buku Kompas, September 2009). Atas kreativitas dan produktivitasnya menulis buku, Meseum Rekor Indonesia (MURI) memberinya penghargaan sebagai anggota parlemen paling produktif menulis buku, selain penghargaan atas pledoi terpanjang yang ditulisnya di penjara Masa Orde Baru. Pemikiran dan pengabdiannya pada masyarakat, khususnya di bidang pendidikan luar sekolah, A.M. Fatwa dianugrahi gelar Dokter Honoris Causa oleh Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada Juni 16 Juni 2009. e-mail: emailfatwa@yahoo.go.id atau amfatwa@dpd.go.di.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kedamaian dan Kekacauan Tergantung Pemimpin

7 Oktober 2014   18:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:02 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Khutbah Idul Adha 1435 H

Kedamaian dan Kekacauan Tergantung Pemimpin

Belajar Dari Beberapa Kasus Masa Rasulullah Saw. dan Para Sahabat

A.M. Fatwa

اَلسَّلامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهْ

اَللهُ اَكْبَرْ اَللهُ اَكْبَرْ اَللهُ اَكْبَرْ

اَللهُ اَكْبَرْكَبِيْرًا، وَالْحَمْدُلله ِكَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ الله بُكْرَةً وَاَصِيْلاَ

لآاِلَهَ اِلاَّ الله وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهْ، وَنَصَرَعَبْدَهْ، وَاَعَزَّجُنْدَهُ وَهَزَمَ اْلاَحْزَابَ وَحْدَهْ

لآاِلَهَ اِلاَّ الله وَلاَ نَعْبُدُ اِلاَّ اِيَّاهْ، مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْكَرِهَ الْكَافِرُوْن

لآاِلَهَ اِلاَّ الله ُوَالله ُاَكْبَرْ. اَلله ُاَكْبَرْ وَلله ِالْحَمْد

نَحْمَدُالله حَقَّ حَمْدَهْ، وَنَشْكُرُهُ حَقَّ شُكْرَهْ

اَشْهَدُاَنْ لآ اِلَهَ اِلاَّالله ُوَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهْ

وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًاعَبْدُهُ وَرَسُوْلُهْ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهْ

فَيَاعِبَادَالله، اُصِيْكُمْ وَاِيَّايَ نَفْسِيْبِتَقْوَالله وَطَاعَتِهْ



PENDAHULUAN

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar wa lillahilhamd

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah

Mari kita bersyukur kehadirat Allah Swt. atas nikmat iman, kesehatan, dan waktu luang yang dianugerahkan-Nya kepada kita, sehingga pada saat ini kita bisa berkumpul dalam indahnya persaudaraan, untuk bersama-sama menunaikan syariat agama, merayakan Idul Qurban. Hari raya yang akan mengingatkan kita pada perjalanan hidup Nabi Ibrahim as., yang sarat dengan ibrah untuk diteladani. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Saw. Keturunan terakhir Nabi Ibrahim yang menutup misi risalah, setelah Islam dijadikan agama paripurna untuk menuntun manusia meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dalam surah Al-Maidah ayat 5 Allah Swt. berfirman:

اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا

“Pada hari ini, telah Kusempurnakan agamamu, telah Kucukupkan nikmat-Ku untukmu, dan telah Kuridhai Islam menjadi agama bagimu.”

Hari raya Idul Adha berikut perintah berkurban yang kita laksanakan setiap tahun, harus menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Allah Swt., yang tercermin melalui keserasian antara ucapan dan tindakan kita, seperti yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dan para rasul lainnya.

Jika kita mengaku mencintai Allah Swt. di atas segalanya, maka kita takkan pernah ragu untuk melaksanakan perintah Allah Swt. betapapun sulitnya perintah itu untuk ditunaikan. Kita takkan pernah mengeluh saat mendapatkan ujian dan cobaan, betapapun beratnya cobaan itu untuk dilalui. Inilah yang ditunjukkan Ibrahim saat imannya diuji, melalui perintah menyembelih Ismail. Putra kesayangan yang kehadirannya telah dinanti selama puluhan tahun.

Nabi Ibrahim meyakini dengan sepenuh hati bahwa semua perintah Allah Swt. pasti benar dan berorientasi pada kebaikan hamba-Nya. Kalaupun perintah itu terkesan bertentangan dengan akal sehat, hal itu lebih disebabkan keterbatasan nalar manusia dalam menangkap hikmah di balik perintah-Nya. Allah Swt. adalah Tuhan Maha Pengasih yang sudah berjanji untuk memberikan balasan berlipat ganda atas setiap kebaikan dan pengorbanan hamba-Nya. Allah adalah Tuhan Maha Penyayang yang mustahil menzalimi makhluk-Nya, sebagaimana diikrarkan dalam surah An-Nisa’ ayat 40:

إِنَّ اللهَ لاَ يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيْمًا

“Sungguh, Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, maka Allah pasti melipagandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.”

Janji ini dibuktikan Allah ketika mengganti Ismail dengan kambing qibas dari surga, lalu menganugerahi Ibrahim sederet keutamaan yang Allah tidak berikan kepada nabi-nabi yang lain. Seperti gelar khalilullah (kekasih Allah), Abul Anbiya’ (leluhur para nabi), dan ulul azmi (nabi yang istimewa). Selain diabadikan menjadi nama surah ke-14 dalam Al-Quran, nama Ibrahim juga disebutkan sebanyak 69 kali. Kisahnya diceritakan sebanyak 25 kali dalam 20 surah dan 156 ayat. Semua ini belum termasuk pahala besar yang disiapkan Allah Swt. di akhirat.

Janji Allah dalam ayat di atas tidak hanya ditujukan kepada Nabi Ibrahim semata, tapi juga bagi kita semua selaku umatnya. Karena itu, pada momen yang istimewa ini, mari kita kukuhkan niat untuk memperbanyak amal saleh, dan menebar kebajikan bagi saudara-saudara kita yang seiman, sebangsa, dan setanah air.

KONDISI BANGSA PASCA SUKSESI KEPEMIMPINAN

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar wa lillahilhamd

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah

Sebagai bangsa dengan jumlah kaum Muslimin terbesar di dunia, kita boleh bangga setelah berhasil melaksanakan suksesi kepemimpinan nasional dengan damai. Prediksi akan terjadi konflik mengerikan akibat banyaknya praktik kotor selama proses pemilihan pemimpin, alhamdulillah bisa kita lewati dengan selamat. Di sejumlah daerah memang sempat terjadi letupan-letupan kecil, sebagai buah ketidapuasan terhadap hasil Pemilu. Namun hal itu bersifat sektoral dan temporal. Tidak massif dan sistemik, sehingga tidak sampai mengancam stabilitas nasional.

Prestasi besar ini harus kita syukuri, lalu kita rawat dan kita perbaiki, agar proses transisi demokrasi berjalan ke arah yang benar. Sehingga mimpi untuk menjadi negara demokrasi terbesar keempat di dunia, sekaligus negeri Muslim demoratis terbesar di dunia, segera tercapai. Perjuangan untuk mewujudkan mimpi tersebut tidaklah mudah. Butuh kesadaran dan komitmen kolektif dari segenap elemen bangsa, untuk menjadikan nilai-nilai etika dan moral politik yang berdasarkan agama dan budaya, sebagai langgam demokrasi. Inilah semangat demokrasi atau syura, sebagaimana ditegaskan Al-Quran surah Asy-Syura ayat 38:

وَأَمْرُهُمْ شُوْرَى بَيْنَهُمْ

“Dan urusan mereka, diputuskan dengan musyawarah antara mereka.”

Hanya dengan kesadaran dan komitmen kolektif, sistem demokrasi yang kita anut benar-benar akan berfungsi sebagai sarana mendapatkan kader terbaik untuk menjadi pemimpin. Figur yang memiliki kapabilitas untuk mewujudkan visi dan misinya menyejahterakan rakyat.

Sebaliknya, tanpa kesadaran dan komitmen mengedepankan etika dan moral politik, maka demokrasi yang kita bangun hanya akan bersifat prosedural. Mudah ditumpangi oleh orang-orang yang haus kekuasaan, untuk mendapatkan jabatan secara legal-formal semata. Orang yang memandang jabatan sekadar sarana untuk menaikkan status sosial, mendapatkan beragam fasilitas dan kemudahan, serta memperoleh privilegde dari negara. Orang yang tidak sadar dengan kompetensi dan kemampuan dirinya untuk kepentingan masyarakat luas, dan mengandalkan kekuatan uang untuk meraih dukungan pemilih. Inilah pangkal dari demokrasi berbiaya tinggi yang meresahkan banyak kalangan, serta memicu maraknya fenomena korupsi, kolusi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan di kalangan pemimpin.

Terlepas dari semua hal tersebut, Khatib al-faqir sekali lagi ingin mengingatkan kita semua, terhadap nikmat besar yang dianugerahkan Allah Swt. kepada bangsa Indonesia. Yaitu nikmat kemampuan untuk melaksanakan semua tahapan suksesi kepemimpinan dengan aman tanpa gejolak yang berarti.

Setelah seluruh tahapan itu kita lalui, dan hasilnya sudah kita dapatkan. Suka atau tidak, inilah hasil dari sistem demokrasi yang sudah merupakan kesepakatan nasional. Ketika pemimpin telah terpilih, segala bentuk kontestasi dan rivalitas wajib diakhiri. Semua harus kembali seperti semula. Para elit politik, yang tidak berhasil memenangkan pemilu, sangat diharapkan bantuan dan partisipasinya untuk memberikan kesadaran dan pendewasaan berpolitik masyarakat.

Bantuan dan partisipasi itu menjadi penting karena saat ini, tampak masyarakat sudah mengakhiri segala bentuk perbedaan pendapat, perseteruan, dan ketegangan di antara mereka. Secara perlahan, mereka sudah melupakan semarak pesta demokrasi dengan segenap suka dukanya. Mereka sudah kembali pada rutinitas dan aktivitas masing-masing, dalam semangat kebersamaan, persaudaraan, dan persatuan. Iklim positif dan kondusif ini harus dipelihara, agar keutuhan bangsa dan negara terjaga, dan juga agar para pemimpin yang baru, bisa segera melaksanakan program-program kreatifnya untuk memajukan negara, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

PARA PEMIMPIN, BERSATULAH MEMBANGUN BANGSA

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar wa lillahilhamd

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah

Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa visi bangsa Indonesia adalah menciptakan perdamaian abadi, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menyejahterakan masyarakat. Visi mulia ini diterjemahkan dalam konsep yang disebut pembangunan, kemudian dituangkan secara spesifik dalam program pembangunan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

Semua program pembangunan ini akan berjalan lancar dan dinikmati hasilnya oleh segenap bangsa Indonesia, jika seluruh pemimpin negeri ini bersatu, saling membantu, dan bekerja sama, seperti diterangkan Al-Quran surah Al-Maidah ayat 2:

تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-tolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”

Dalam kerangka demokrasi, perintah tolong-menolong dalam ayat ini harus diterjemahkan dalam iktikad membangun iklim politik yang etis dan bermoral. Artinya, pihak yang memenangkan pemilu dan mendapat amanah untuk menjalankan kekuasaan, harus merangkul semua pihak, daya gunakan setiap potensi yang dimiliki oleh anak bangsa, tanpa melihat perbedaan aliran politik, etnis, ataupun agamanya. Jangan hanya terpaku lalu mementingkan orang-orang yang memiliki latar belakang politik sama.

Sementara di sisi lain, pihak yang memilih untuk menjadi kekuatan penyeimbang, jadilah penyeimbang yang sehat. Jalankan fungsi kontrol dengan satu tujuan, yaitu agar pihak yang berkuasa melaksanakan tugasnya dengan amanah. Pihak yang berkuasa pasti memerlukan saran, masukan, koreksi, serta kritik yang konstruktif untuk memastikan bahwa kebijakannya benar-benar berorientasi pada kebaikan umat.

Inilah rahasia kesuksesan Rasulullah Saw. selama memimpin negara Madinah. Beliau mengakomodir dan menyatukan semua potensi sahabat sehingga proses pembentukan masyarakan madani berjalan lancar dan efektif. Beliau tidak melihat latar belakang suku, golongan, serta etnis ketika menyerahkan mandat untuk melaksanakan tugas-tugas penting kenegaraan. Tidak ada pengistimewaan khusus terhadap suku Quraisy, golongan Muhajirin, serta etnis Arab. Semua dipilih berdasarkan kompetensinya masing-masing. Bahkan golongan Yahudi dan Nasrani dijamin hak-hak sosial dan kesejahterannya, seperti kebebasan menjalankan ibadah mereka. Hak-hak politiknya pun dijamin sebagaimana mestinya, meskipun jumlah mereka minoritas. Inilah sebenarnya prinsip rahmatan lil ‘alamien.

Apabila kebijakan politik berikut program-program pembangunan penguasa sejalan dengan aspirasi rakyat dan tidak bertentangan dengan konstitusi, maka semua pihak memiliki tugas yang sama dalam mengawal suksesnya program-program tersebut. Tapi jika sebaliknya, maka pihak yang berposisi sebagai kekuatan penyeimbanglah yang harus mengingatkan penguasa agar kembali ke haluan yang benar. Dalam hadis riwayat Imam Bukhari, Rasulullah Saw. bersabda:

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ. فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

“Mendengar dan menaati pemimpin Muslim wajib dalam hal yang disukai atau dibenci, selama tidak diperintahkan maksiat. Apabila diperintahkan maksiat, maka tidak boleh didengar dan ditaati.”

PEMIMPIN HARUS MENCIPTAKAN KEDAMAIAN

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar wa lillahilhamd

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah

Semua program pembangunan di negeri ini akan berjalan lancar jika masyarakat hidup rukun dan damai. Jauh dari permusuhan dan kebencian, dendam kesumat, dan kekacauan. Oleh karena itu, dalam catatan sejarah kita lihat Rasulullah Saw. dan khulafaur rasyidin Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, menjadikan terciptanya kedamaian sebagai prioritas kebijakan politik mereka.

Ketika sampai di Madinah, kebijakan politik pertama Rasulullah Saw. adalah mempersaudarakan kaum Muhajirin (sahabat yang berasal dari Mekah) dengan kaum Anshar (sahabat penduduk asli Madinah). Tujuannya supaya kaum Muslimin bisa hidup berdampingan sekaligus mencegah munculnya kecemburuan sosial yang bisa memicu konflik. Sementara itu, ketika berhasil membebaskan kota Mekkah, Rasulullah Saw. langsung memberikan amnesti massal, bahkan kepada orang-orang yang menurut hukum internasional sekarang, boleh dihukum mati karena melakukan kejahatan perang. Kemurahan hati beliau ini, menghapus semua dendam di hati Quraisy Mekkah, sehingga mereka berbondong-bondong masuk Islam.

Semua tradisi positif ini dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali pada masa pemerintahan mereka masing-masing, sehingga negeri Muslim benar-benar aman dan damai. Hasilnya, aktifitas dakwah dan berkembang pesat, roda perekonomian berputar cepat, dan semua jenis pelayanan publik berjalan lancar. Maka jangan heran jika dalam waktu singkat, peradaban Islam mampu melewati kejayaaan dua negara adidaya, yaitu kekaisaran Persia dan imperium Romawi.

دَرْأُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمُ عَنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ.

“Mencegah kerusakan, lebih diprioritaskan dibanding mengambil manfaat.”

Kaidah ushul fiqih yang ditulis Imam Syafi’i ini, sudah dipraktikkan bahkan dijadikan sebagai dasar kebijakan oleh para khulafaur rasyidin, jauh sebelum kaidah itu sendiri ditulis. Abu Bakar misalnya, sebelum memberangkatkan pasukan ke medan perang, ia selalu berpesan untuk tidak membunuh orang tua dan anak-anak, tidak menebang pepohonan, serta tidak merusak bangunan. Umar bin Khaththab pernah menyuruh penghentian proses pembangunan sebuah masjid, karena lahan yang akan digunakan adalah milik orang Yahudi, dan orang Yahudi tersebut tidak bersedia rumah berikut pekarangannya dibeli negara untuk dibangun masjid. Sementara itu, Utsman bin Affan tidak ragu mengesampingkan naluri bisnisnya untuk mengambil keuntungan dari barang dagangan yang ia beli di Syam, demi mencegah bencana kelaparan yang melanda kota Mekkah. Ia bagikan seluruh barang dagangan itu kepada fakir-miskin yang membutuhkan.

TELADAN ALI BIN ABI THALIB DALAM MENJAGA KEDAMAIAN

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar wa lillahilhamd

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah

Sikap luhur Abu Bakar, ketegasan Umar, serta keberanian memikul risiko Utsman bin Affan, diwariskan secara konsisten oleh Ali bin Abi Thalib dalam upaya menjaga stabilitas keamanan negeri Muslim. Upaya beliau tentu lebih berat karena eskalasi politik pada masa pemerintahannya semakin memanas. Fitnah mulai muncul dan menggerogoti rasa persaudaraan kaum Muslimin, bahkan ambisi untuk berkuasa sudah mulai merasuki jiwa beberapa kalangan. Pada masa beliaulah pecah dua perang besar antara sesama kaum Muslimin, yaitu Perang Jamal dan Perang Shiffin.

Sebagai pemimpin yang berjiwa ksatria, Ali bin Abi Thalib sejatinya sudah berusaha sekuat tenaga untuk menjaga persatuan dan kesatuan kaum Muslimin. Ketika melihat krisis kepemimpinan sebagai simpul utama di balik kekacauan yang terjadi, dengan tegas, Ali bin Abi Thalib menolak untuk diangkat menjadi pemimpin negara. Di hadapan para simpatisannya dengan tegas ia berkata, "Kalian tidak membutuhkanku untuk menyelesaikan masalah yang kalian hadapi. Aku bersama kalian. Siapa saja yang kalian pilih, aku pasti akan menerimanya. Jadi, gunakanlah hak pilih kalian. Bila kalian tidak melakukannya, dan tetap memaksa untuk memilihku, maka aku lebih baik menjadi pembantu khalifah, ketimbang menjadi khalifah."

Kerendahan hati Ali bin Abi Thalib ini, di satu sisi berhasil menurunkan tensi ketegangan di antara kaum Muslimin yang terpecah menjadi beberapa faksi, pasca syahidnya Utsman bin Affan. Tapi di sisi lain, semakin meyakinkan mereka bahwa dirinyalah sosok yang paling tepat untuk diserahi amanah kepemimpinan.

Besarnya kecintaan Ali pada perdamaian dan kedamaian, membuatnya selalu mengalah dan tidak memanfaatkan fanatisme pendukungnya untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Menyandang status sebagai anak angkat sekaligus menantu Rasulullah Saw. yang ditasbihkan sebagai pintu ilmu pengetahuan:

أَنَا مَدِيْنَةُ الْعِلْمِ وَعَلِيُّ بَابُهَا

“Aku adalah gudang ilmu pengetahuan, dan Ali adalah pintunya.”

Ali sejatinya memiliki banyak pendukung fanatik yang solid, dibanding sahabat besar yang lain. Sebuah modal politik yang sangat cukup untuk menduduki jabatan khalifah, bahkan mestinya khalifah pertama sepeninggal Rasulullah Saw. Namun hal itu tidak pernah ia manfaatkan, karena yang tertanam dalam hatinya adalah rasa cinta damai, bukan cinta jabatan.

Perang Jamal pecah karena banyak sahabat besar yang termakan hasutan oknum-oknum yang kepentingannya terancam, akibat kebijakan politik Ali bin Abi Thalib. Keputusannya mengganti sejumlah kepala daerah, menarik aset-aset negara yang dikuasi bekas kerabat Utsman tanpa jalan yang sah, serta penangguhan penegakan hukum karena memprioritaskan stabilitas nasional, membuat sejumlah pihak gerah, lalu memobilisir penduduk Bashrah untuk menurunkan Ali. Perang baru berakhir setelah  onta (Jamal) yang ditunggangi Aisyah (mertua tiri Ali bin bin Abi Thalib) terbunuh. Dengan kebesaran jiwa, Ali sama sekali tidak menghukum orang-orang yang telah melawannya. Tidak satu pun para pembuat onar tersebut ditahan. Bahkan, Aisyah yang dijadikan simbol perlawanan, ia hormati dan ia muliakan. Hal ini ia lakukan karena tidak ingin pertikaian tersebut menyisakan dendam dan berbuntut panjang.

Sikap luhur yang sama ia tunjukkan kepada Muawiyyah bin Abi Sufyan dalam Perang Shiffin. Beragam cara ia lakukan untuk mencegah peperangan antara pendukungnya dengan pendukung Muawiyyah. Dari berkirim surat, hingga ajakan rekonsiliasi nasional melalui musyawarah. Namun Muawiyyah yang tak ingin kehilangan jabatan Gubernur Syam, bahkan menginginkan jabatan khalifah, melakukan segala cara untuk menghasut kaum Muslimin agar menentang Ali. Perang pun tak dapat dihindarkan. Dan Allah kembali menujukkan kuasa-Nya, dengan memenangkan pihak yang benar, Ali bin Abi Thalib.

Jiwa kenegarawanan Ali bin Abi Thalib sadar bahwa pertikaian, permusuhan, dan perang saudara hanya menghasilkan penderitaan bagi umat. Karena itu, ia rela melakukan apa saja agar kaum Muslimin bisa hidup damai dan berdampingan. Termasuk mengorbankan jabatan yang ia peroleh dengan sah. Inilah yang mendasarinya untuk menerima usulan tahkim (arbitrase) dari Muawiyah yang sudah terjepit dan berada di ambang kekalahan. Yang lebih mencengangkan lagi, Ali bin Abi Thalib sedikit pun tidak marah, ketika dalam proses tahkim tersebut, dirinya dicurangi. Yang terpenting baginya adalah masyarakat bisa hidup aman dan damai, jauh dari konflik dan pertikaian.

Semua gambaran ini kiranya cukup untuk membuktikan, betapa pemimpin memiliki peran yang sangat menentukan dalam menciptakan kedamaian dan menjaga keutuhan bangsa. Sudah saatnya bagi para pemimpin Indonesia meresapi dan meneladani sikap kenegarawanan Ali bin bin Abi Thalib, agar namanya dikenang indah dalam catatan sejarah. Jangan sampai, sejarah mencatat kita sebagai pemimpin yang haus kekuasaan seperti Muawiyyah bin Abi Sufyan. Orang yang dianggap paling bertanggung jawab atas terjadinya disintegrasi umat, berakhirnya masa khulafaur rasyidin (kekhalifahan yang lurus dan diridhai), dan lahirnya tradisi politik dinasti dalam Islam yang mengakibatkan terkikisnya nilai-nilai demokrai yang terbangun sebelumnya.

DOA DAN HARAPAN

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar wa lillahilhamd

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah

Sebelum mengakhiri khutbah ini, khatib al-faqir ingin mengajak kita semua untuk merawat ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) kita sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing. Para pemimpin, jadikan kemaslahatan umat sebagai dasar setiap kebijakan. Kesampingkan kepentingan kelompok dan golongan, serta kepentingan-kepentingan sempit lainnya. Para elit politik, jadikan nilai-nilai moral dan etika sebagai acuan dalam berpolitik. Tunjukkan keharmonisan dan hindari konflik yang bisa memicu ketegangan. Dan bagi masyarakat luas, eratkan tali persaudaraan tingkatkan serta kepekaan sosial dalam semangat kebersamaan. Buang jauh-jauh fanatisme buta baik yang mengatasnamakan suku ataupun agama, agar kita bisa hidup rukun berdampingan.

Jika semua komponen bangsa bersatu padu dan bahu-membahu membangun negeri, maka impian untuk mewujudkan negara yang makmur dan sentosa, akan segera kita capai. Amien…, amien…, amien…, ya rabbal alamien.

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.

اَللّهُمَّ احْفَظْ بِلاَدَنَا بِحِفْظِكَ وَاَمِّنْهَا بِأَمْنِكَ وَابْعِدْ عَنْهَا الْفِتَنَ مَاظَهَرَ مِنْهَا وَماَ بَطَنَ. اَللّهُمَّ اَدِمْ عَلَيْنَا اْلاِسْتِقْرَارَ وَاْلاَمَانَ يَارَبَّ اْلعَالَمِيْنَ

Ya Allah, peliharalah negara kami dengan pemeliharaan-Mu. Jagalah keamanan negara kami, jauhkan dari fitnah baik yang nyata ataupun yang tersembunyi. Ya Allah, lestarikan stabilitas dan keamanan negara kami, wahai Tuhan Penguasa alam semesta.

اَللّهُمَّ آمَنَّا فِيْ أَوْطَانِنَا، وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلاَةِ أُمُوْرَنَا وَاسْتَعْمِلْ عَلَيْنَا خِيَارَنَا وَاكْفِنَا شَرَّ شِرَارِانَا، وَاجْعَلْ اَللّهُمَّ وِلاَيَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

Ya Allah, tenteramkanlah negara kami. Perbaikilah para pemimpin dan para penguasa kami. Jadikanlah para pemimpin kami orang-orang pilihan di antara kami. Lindungilah kami dari kejahatan diri kami sendiri. Ya Allah, jadikanlah para pejabat kami orang-orang yang takut kepada-Mu, bertakwa, dan mengikuti keridhaan-Mu, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih.

اَللّهُمَّ مَنْ أَرَادَ بِلاَدَنَا وَأُمَتَّنَا بِسُوْءٍ فَأَشْغِلْهُ بِنَفْسِهِ وَرَدَّ كَيْدَهُ فِيْ نَحْرِهِ. وَاجْعَلْ تَدْمِيْرَهُ تَدْمِيْرًا يَا سَمِيْعُ الدُّعاَءْ.

Ya Allah, jadikan orang-orang yang berniat buruk terhadap bangsa dan negara kami menjadi sibuk sendiri. Hancurkan makarnya dan musnahkan muslihatnya, wahai Tuhan Yang Maha Mengabulkan permohonan.

اَللّهُمَّ انْصُرْ سُلْطَانَنَا سُلْطَانَ الْمُسْلِمِيْنَ، وَانْصُرْ عُلَمَاءَهُ وَوُزَرَاءَهُ وَوُكَلاَءَهُ وَعَسَاكِرَهُ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَةَ وَالْعَافِيَةَ عَلَيْنَا َمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ.

Ya Allah, tolonglah penguasa kami, pemimpin kaum yang beriman, tolonglah para ulama, para menteri, para pejabat, serta tentaranya hingga hari Akhir. Tetapkan keselamatan dan kesehatan bagi kami umat Muhammad dan seluruh umat manusia.

اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْر.

Wahai Tuhan Yang mempunyai kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ. وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Mahasuci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Tuhan Penguasa alam semesta.

وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Disampaikan pada Idul Adha 1435 H di Masjid Uswatun Hasanah, Jl. Daan Mogot Raya KM 10 Pesing - Cengkareng - Jakarta Barat. Ahad 10 Dzulhijjah 1435 H / 5 Oktober 2014

Ketua Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI “Senator” dari Provinsi DKI Jakarta

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun