Mohon tunggu...
Amey fadhilah
Amey fadhilah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa Pascasarjana IPS Universitas Jember

Ketertarikan saya terhadap kepenulisan berawal dari kebiasaan membaca majalah Horison milik saudara, setelah masuk SMA saya ikut ekstrakurikuler Jurnalistik menjadi tim berita. Kemudian saat kuliah S1 di Universitas Negeri Malang saya menjadi jurnalis kampus, pengalaman yang luar biasa bisa mengenal banyak sivitas akademi di kampus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seorang Perempuan dalam Kesetaraan Gender

4 November 2024   08:00 Diperbarui: 7 November 2024   22:52 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Freepik.com

Ketika membaca buku Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX karya Peter Carey dan Houben terbesit mengenai ketangguhan perempuan melebihi laki-laki. Isu kesetaraan gender sedang ramai digaungkan oleh para feminism di Indonesia, stereotype mengenai perempuan selalu berada dibawah laki-laki dan tidak dapat menjadi pemimpin sudah ada sejak masa kolonialisme terbukti dalam catatan Deandles yaitu "Perempuan tidak punya tempat dalam penghormatan umum, dan terhadap perempuan hanya urusan pribadi". Perempuan dalam kolonialisme digambarkan sebagai boneka yang tersenyum simpul dan meniadakan diri sendiri. Menurut Carey dan Houben, inilah tipe perempuan yang elok namun kepalanya kosong.

Sedangkan dalam buku Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX dapat menghilangkan stigma bahwa perempuan hanya bisa berada di dapur-sumur-kasur. Perempuan-perempuan Jawa tersebut menjelma sebagai sosok yang sangat tangguh.  Perempuan-perempuan perkasa yang dimaksud penulis dalam judul seperti: Dewi Drupadi, Raden Ayu Yudokusumo, dan Nyi Ageng Serang. Dewi Drupadi, istri Prabu Yudistira, bersumpah tidak akan kembali mengonde rambutnya lagi sebelum membunuh Raden Dursono, seorang pangeran Kurawa yang pernah menghinanya. Tokoh lain adalah Raden Ayu Yudokusumo, beliau seorang perempuan yang punya kecerdasan tinggi, kemampuan besar, dan siasat jitu selayaknya laki-laki. Raden Ayu Kusumo menjadi salah satu dari panglima pangeran Diponegoro.

Melihat kehebatan perempuan-perempuan tersebut kita tidak harus meniru keberanian Dewi Dupradi hingga membunuh Kurawa, tetapi seiring berkembangnya zaman dapat menggunakan cara lain seperti mengedukasi apa yang harus dilakukan jika mendapat pelecehan seksual. Kesetaraan gender perlu dilakukan diera sekarang, minimal dalam melibatkan perempuan untuk bekerja. Karena adanya segmentasi jenis kelamin, angkatan kerja, praktik penerimaan dan promosi karyawan yang bersifat deskriminatif atas dasar gender yang membuat perempuan terkonsentrasi dalam sejumlah kecil sektor perekonomian, umumnya pada pekerjaan-pekerjaan berstatus lebih rendah daripada laki-laki. Asumsi masyarakat yang menyatakan bahwa pekerjaan perempuan hanya sekedar tambahan peran dan tambahan penghasilan keluarga juga menjadi salah satu sebab rendahnya tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan. Padahal kesetaraan gender merupakan salah satu hak asasi sebagai manusia. Hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan bebas menentukan pilihan hidup tidak hanya diperuntukan bagi para laki-laki, perempuan pun mempunyai hak yang sama pada hakikatnya. Sayangnya sampai saat ini, perempuan seringkali dianggap lemah dan hanya menjadi sosok pelengkap.

Padahal sejak dulu seperti munculnya RA Kartini sudah membuktikan bahwa perempuan mempunyai hak untuk mengeyam pendidikan, dan menghapus stigma bahwa perempuan hanya berada di sumur-kasur-dapur. Bahkan jauh sebelum RA Kartini lahir, Wanita Aceh berhak ada di tampuk pimpinan sebagai Sultanah, Wanita Minang adalah pewaris trah keluarga, Wanita Batak mampu menjadi penopang ekonomi, Wanita Bali adalah pusat dalam Adat keluarga, Wanita Bugis mampu menjadi Ratu di daratan Sulawesi dan Maluku, Wanita Dayak dapat menjadi Tetua Adat dan lambang kebijaksanaan. Dari sini perempuan Indonesia sudah sedari dulu memiliki andil bagian dalam bidang yang dianggap milik laki-laki saja, padahal perempuan bisa melakukannya.

Bagi saya, perempuan mempunyai peran penting dalam sejarah peradaban manusia. Jika logika kita menempatkan perempuan dalam skala terbatas, sebetulnya hal ini bukan saja hendak menggerus peradaban perempuan tetapi malah menyangkal peradaban perempuan dari masa lalu. Persoalan yang dialami oleh perempuan merupakan bentuk dari kegagalan kita memaknai peradaban perempuan.

Jadi, sudah sampai manakah perjuangan kita sebagai perempuan untuk ikut berperan menguatkan dan turut berkontribusi dalam memenuhi hak-hak perempuan sebagai sesama manusia di dunia ini?

Mari kita menjadi perempuan yang kuat. Perempuan kuat adalah mereka yang mampu menguatkan perempuan lainnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun