Indonesia merupakan satu dari banyak negara di dunia yang kaya akan suku, ras, agama dan budaya. Salah satunya ada di Provinsi Jawa Timur, tepatnya di Dusun Sodong, Desa Gelangkulon, Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo. Dusun Sodong ini merupakan satu-satunya perkampungan Buddha yang ada di Ponorogo, Jawa Timur. Sekarang dalam Dusun Sodong terdapat dua kepercayaan yaitu Budha dan Islam yang berarti dalam satu desa terdapat dua tempat beribadah dua agama. Menariknya keduanya bersanding di satu atap secara beriringan dan selaras dalam toleransi beragama. Dulunya sebelum agama Buddha masuk, masyarakat Sodong menganut sebuah aliran kepercayaan Sastro Jendro Hayuningrat, sebuah varian dari aliran kejawen. Terbukti dengan beberapa rujukan ajaran yang banyak dipakai dalam ajaran moralnya seperti kitab Darmogandul, Veda Badra Sakti, Djati Kusumo dan Jongko Joyoboyo.
 Namun demi kepentingan administratif kependudukan seperti KTP dan perkawinan menganut agama secara formal kemudian dilakukan. Proses Budhanisasi ini di lakukan oleh salah satu sekte Budha, yakni Budha Theravada. Sampai kini, ritualitas agama Budha terwujud dalam setiap kali peringatan Waisak, yang banyak di hadiri oleh mereka dari luar daerah, termasuk dari Surabaya dan tempat yang lain. Ritual persembahyangan juga diselenggarakan pada malam Jum'at Pahing. Hal yang menarik adalah dalam Vihara Budha terdapat simbol-simbol agama Budha yang nampak jelas, dan di dalamnya terdapat patung Sidharta Gautama. Tetapi dalam beberapa kali kesempatan bertemu dengan anggota masyarakat lokal, mereka selalu menegaskan bahwa secara formal sebagian dari mereka memang beragama Budha dan sebagian lagi Islam, tetapi mereka beranggapan hal tersebut merupakan satu hal yang dianggap tidak penting, karena menurut mereka soal agama hanya semata-mata soal pakaian dan administratif semata.
Dalam kehidupan sehari-hari terjadilah persinggungan antara agama Budha dan Islam. Persinggungan tersebut sangat nampak dalam budaya kidungan, berdoa di punden, prosesi pemakaman, dan perayaan hari raya waisak maupun hari raya idulfitri. Kondisi tersebutr diwujudkan dalam pelaksanaan disetiap kegiatan, panitia terdiri dari umat Islam dan Buddha, hal itu merupakan salah satu wujud dari pluralisme dan toleransi di Desa Sodong.
Salah satu kegiatan yang menarik adalah kidungan, karena kidungan ini dilakukan bersama-sama antar umat beragama. Kidung adalah doa yang dituangkan ke dalam sastra, baik puisi atau macapat. Tidak selamanya kidung ditembangkan, ada kalanya dibaca. Selain itu tradisi yang masih dilaksanakan hingga sekarang dan menjadi persinggungan adalah budaya berdoa di Punden yang bernama Selobale. Pada proses ini umat Islam dan Buddha berdoa bersama sesuai dengan kepercayaan mereka masing- masing meskipun dilakukan dalam waktu yang bersamaan, yaitu setiap hari raya keagamaan.
Mengenai pemakaman masyarakat Islam di Sodong menggunakan cara pemakanan layaknya umat islam untuk melakukan pemakaman, dan terdapat pemakaman islam berada di desa. Sedangkan agama Buddha mengenal proses perabuan dan dimakamkan. Dalam proses pemakaman terdapat kerjasama dan gotong royong antara masyarakat Buddha dan Islam, seperti penyediaan air, penataan tempat, penggalian tanah, pengangkatan mayat, penyiapkan upacara pemakaman dan lain sebagainya. Proses yang menyangkut jenazah ditanggung oleh pengurus inti, sementara pengurusan tempat dilakukan bersama-sama tanpa pembedaan agama.
Desa Sodong memiliki dua perayaan hari raya dalam satu tahun, yaitu hari raya Waisak, dan hari raya Idulfitri. Dalam pelaksanaannya masing-masing umat Islam dan Buddha turut andil dan bekerja sama. Nilai toleransi muncul ketika umat Islam sedang membantu acara dari umat Buddha, umat Islam tetap mengenakan busana muslim, dan begitu sebaliknya. Warga Buddha melibatkan warga Islam hanya di perayaan hari Waisak saja. Sementara untuk hari raya yang lain seperti Kathina, Asadha dan Magha puja hanya melibatkan warga yang beragama Buddha. Adapun setiap hari Rabu, ibu-ibu mengadakan kegiatan arisan atau anjangsana di Vihara. Ibu-ibu umat Buddha melakukan anjangsana tidak hanya kerumah penganut Buddha tetapi juga ke penganut Islam. Melihat persinggungan tersebut dapat dikatakan bahwa kehidupan masyarakat Dusun Sodong merupakan representasi dari keragaman di Indonesia yang dibingkai dalam toleransi yang harmonis.
Ketika dalam sebuah desa dihuni oleh masyarakat denngan pemeluk dua agama yang berbeda, keselarasan dan toleransi beragama menjadi fondasi penting bagi kehidupan masyarakat. Dengan saling menghormati perbedaan, masyarakat desa dapat membangun kerukunan yang kuat, di mana setiap individu merasa dihargai dan diterima. Melalui dialog terbuka dan kegiatan bersama, mereka dapat merayakan keberagaman sebagai kekuatan, menciptakan lingkungan yang harmonis dan damai. Dengan demikian, toleransi beragama bukan hanya menjadi pilihan, tetapi juga menjadi bagian dari identitas desa yang menegaskan bahwa perbedaan dapat bersinergi untuk menciptakan kebersamaan yang lebih indah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H