Bismillahirrahmanirrahim
Bukan lukisan yang istimewa. Hanya sebuah bentuk sepotong tubuh berwarna abu-abu dengan merah berbercak. Menyerupai sebuah patung kesunyian yang pernah aku lihat, bahkan terpotret jelas dalam ingatanku. Tapi apa?
*
Ia duduk menyilangkan kakinya, menyesap secangkir kopi yang masih mengepulkan uap putih ketika aku datang. Matanya menerawang pada lalu lalang kendaraan lewat bingkai kaca café yang sedikit mengembun akibat hujan. Tidak tampak ia membawa sesuatu selain sebuah tas kulit dan sebuah handphone yang ia biarkan senyap di samping cangkir bertelinga putih itu. Aku menggeser kursi dan duduk di hadapannya. Ia menyadari kedatanganku dan sama sekali tidak terkejut akan hal itu.
"Kamu yang membawanya kan?" tanyaku tanpa basa basi.
"Aku membelinya. Sepuluh juta! Harga yang pantas." Ia menyesap kembali kopinya. Tampak sangat menikmati kepulan uap panas dengan memejamkan mata. Seakan uap dan aroma kopi itu memberinya sebuah energi yang ia cari.
"Aku menginginkannya kembali!"
Ia menatap mataku. Dalam. Tetapi kami hanya diam.
"Aku tidak akan menyerahkannya semudah itu." Matanya masih sama.
"Kamu jual berapa lukisan itu?" aku mendesah, mengeluarkan segumpalan uap panas yang sedari tadi memenuhi dadaku.
"Haha..." ia terkekeh. "Jati... Jati... kamu masih saja ambisius. Seperti dulu."
Wanda meletakkan kedua sikunya di atas meja, menumpu dagunya dengan jemari yang bertaut. "Lukisan ini bernyawa. Aku tak akan pernah melepaskannya." Suaranya dingin.
"Kamu gila!" Aku memekik tertahan.
*
Brakkk!! Pyarrr!!! Jeritan. Lalu tangisan memilukan dari kamar sebelah. Ibu.
Semua terekam jelas lewat lubang kunci yang menganga.Hinaan, makian, tangan yang terayun, dan kadang… darah segar yang mengucur, seakan mulai akrab dengan telinga dan mataku.Setiap kali menyaksikannya, aku hanya bisa menahan lenguhan napas ataupun suara langkah, sebab aku tak ingin ayahku tahu bahwa aku telah menjadi penguntit sejak saat itu. Aku takut. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa selain diam memeluk lutut kemudian pergi menjauh dari ruangan itu.
Tubuhku bergetar. Lalu perlahan-lahan ibu datang. Wajahnya membuatku tidak bisa lagi merasakan ketakutan, sebab ia telah menjelma menjadi airmata yang nyaris membuat mataku sembab.Ibu menumpahkan semua bebannya lewat pelukan hangat yang tidak biasa, dan akan selalu seperti itu jika Ayah baru saja menyakitinya.
"Kenapa Ibu masih saja bertahan?" tiba-tiba suaraku keluar begitu saja, melumerkan hening yang sedari tadi menjadi atmosfer beku.
Ibu hanya menatapku sekilas saja. Tanpa memedulikan ataupun berpura-pura tidak ingin mendengar ucapanku, ia segera melepaskan pelukannya. “Ini urusan orang dewasa, Jati.” Suara terlampau ngilu itu menusuk tulang-tulangku seketika. Aku melihat noda biru di pelipisnya, juga di pipinya, bahkan di tangannya.
"Ibu bisa melawan ‘kan?" aku bersikeras, meski aku tahu, ibu menganggapku hanyalah anak kecil yang tidak tahu apa-apa. "Atau, Ibu bisa meninggalkan dia saja. Aku akan ikut dengan Ibu!"
Tapi ibu justru menatapku tajam. Semburat merah yang kuterjemahkan dengan nama kemarahan, terlihat jelas di sana.
"Kamu tidak mengerti apa-apa!" Ibu berlalu dari hadapanku, meninggalkan bayangannya, tanpa kata ataupun airmata. Hanya sebuah dimensi beku yang membuatku menggigil.
Begitulah selalu. Ibuku tak pernah sekalipun memberontak ataupun mengeluh atas apa yang menimpa dirinya selama menjadi istri ayahku. Ibu masih tetap menjadi istri penurut dan akan tetap menjunjung prinsip itu sampai masa yang tak diketahuinya,meski ia menerima penyiksaan jauh lebih besar dari apa yang selama ini ia terima. Penyiksaan batin yang membuatnya harus menyembunyikan butiran air bening dari balik kelopak matanya yang semakin terlihat nanar.
*
Hening. Hanya terdengar ketukan-ketukan piring dari balik tembok bercat putih yang menyatu dengan gemericik air kran. Wajah tua dengan sisa-sisa keriput yang samar serta tatapan kosong, terbingkai dalam temaram sinar senja yang mengintip dari balik celah dapur, tempat wanita itu melamunkan sesuatu yang entah.
Suara-suara itu kembali bergemuruh, meruntuhkan tembok sunyi yang sedari tadi menyelimutiku. Memekik seperti biasa, namun seperti terperangkap ke dalam pigura dan seolah akan berada di sana selamanya. Ruangan yang terlampau samar meski aku dapat menyentuhnya, bahkan menghancurkannya. Aku bisa mendengar dentuman benda keras yang terpecah. Samar-samar, berganti-ganti, seperti bunyi lebah. Berdengung. Terjadi lagi, seperti itu.
"Kamu istri tak tahu diri!" Ia memekik.
Hhh… Sejak ayah menjadi pelukis, ia bertingkah aneh. Ia selalu tenggelam dalam dunianya sendiri. Seperti lupa, bahwa di sekitarnya masih ada aku dan Ibu. Kami seperti terasing dalam rumah kami sendiri. Ataukah, justru sebenarnya Ayah yang mengasingkan diri dari kami?
Entah. Yang pasti, ia menjadi sangat tempramental!
Ia sering memukuli Ibu tanpa alasan, tanpa sebab yang jelas. Dan seperti biasa, Ibu akan tetap diam, menurut meski tamparan-tamparan tak jarang membuat pipinya lebam. Ibu seperti sebuah objek yang terkunci rapat pada kanvas kosong tanpa pigura. Tertelanjangi, namun ia tidak bisa melakukan apa-apa selain mematung dan mengutuk dirinya sendiri. Aku sering melihatnya bergumam pada angin, pada malam, pada waktu juga pada dunia yang pengap itu. Wajahnya pias, dengan sorot mata yang kosong juga dingin. Seolah tidak ada lagi dunia di luar matanya. Ia benar-benar terperangkap dan sering menumpahkan hawa panasnya padaku.
Aku pernah mengendap-endap, mencuri celah agar aku bisa masuk ke dalam dunia yang telah memerangkap ayahku kemudian menyeret ibuku ke dalamnya. Dan benar saja, aku menemukan suatu kejanggalan. Lukisan itu, goresan itu. Ah, entahlah!
*
"Anggap saja aku memang gila, Jati. Tapi lukisan itu tetap tidak akan kuserahkan." Suara Wanda menyeretku kembali ke masa ini, di café ini, dengan aroma kopi yang pekat. Jangan-jangan, mantan kekasihku ini memang gila?! Dia juga belum berubah. Ini yang membuatku muak, lantas meninggalkannya setahun lalu. Semua sikapnya mengingatkanku pada ayah. Memuakkan!
“Aku tahu, kamu bisa merasakan nyawa dan dunia dalam lukisan-lukisan itu ‘kan? Kenapa kamu memungkirinya? Lukisan memang memiliki nyawa, Jati. Bukankah kamu percaya itu?”
Ya, aku memang percaya bahwa lukisan memiliki nyawa dan dunia. Tapi aku masih waras. Tidak seperti dirinya yang rela merogoh puluhan, maupun ratusan juta, hanya demi menambah koleksinya. Lukisan-lukisan dengan ‘nyawa’, yang akan menangis jika malam, tertawa, atau sekadar merintih. Ah, bullshit!
"Jangan mengalihkan pembicaraan!”
Wanda menyesap lagi kopinya. Lalu menatap mataku dengan seberkas panas yang menggandeng mesra dinding-dinding beku yang dingin. Ekspresi yang sama, yang mengingatkanku pada perpisahan setahun yang lalu. “Lukisan ini milikku.”
“Aku tetap akan mengambilnya darimu! Kita lihat saja siapa yang akan mengakhiri permainan ini."
"Kamu tidak perlu mengancamku seperti itu, Jati." Wanda mengibaskan tangannya. Matanya terkesiap.
"Aku tidak mengancammu." Aku menyunggingkan senyumku. "Kamu sudah tahu ‘kan bagaimana sifatku?"
"Aku membuang-buang waktuku di sini!" Wanda mengambil tas tangannya, lalu pergi. Aku masih diam. Jika memang harus dilakukan demi lukisan itu, aku akan melakukannya!
*
Ada dua alasan kenapa aku sangat menginginkan lukisan itu. Pertama, itu lukisan ayahku. Kedua, suara rintihan itu…
Aku harus kembali ke rumah itu. Rumah yang sudah dua tahun tak kusinggahi sejak aku bekerja di kota. Hanya satu wajah yang tidak ingin lagi kulihat. Ayahku. Ah, aku khawatir, lama-lama aku bisa gila seperti Wanda.
Kulangkahkan kakiku sambil menenteng lukisan itu. Sebelum menutup pintu ruang gelap ini, kembali kulirik wajah cantik Wanda. Aku ingin melihat senyumnya. Oh, sayang sekali, tidak ada senyum. Hanya mata yang hampir keluar, dengan tubuh menggantung di awang-awang. Aku tersenyum.
*
Hujan yang tidak terlalu deras mengantarkanku pada lubang sunyi yang selama dua tahun tak pernah kupijaki lagi. Menyelinap ke dalam celah-celah untuk menemukan sebuah objek yang nyata, lengkingan dan bayang-bayang abstrak yang berkeliaran di kepalaku. Masih saja sunyi, seperti dulu.
Aku sudah mencoba menghubungi Ibu sejak seminggu lalu. Tapi tidak pernah terhubung, justru laki-laki itulah yang menyahut suaraku. Mendengar suara beratnya saja sudah cukup membuatku harus menahan emosi yang tiba-tiba tersembul di dada.
“Ibumu tidak ada,” kata lelaki itu saat aku bertanya lewat telepon, seminggu yang lalu.
“Kemana?”
“Memang perempuan tidak tahu diri. Menghilang begitu saja. Awas kalau ketemu nanti!”
“Jangan macam-macam dengan Ibu!”
Dan memang benar, rumah itu telah sepi sejak entah kapan. Hanya ada beberapa botol cat tumpah di lantai, beberapa palet dengan cat berantakan, pecahan kaca yang tercecer, kuas-kuas yang terserak, sebuah kanvas sobek yang tersapu merah bergaris tipis dan sebuah lukisan abstrak berwarna abu-abu tergantung tidak seimbang di dinding rumah.
Jika apa yang aku pikirkan menjadi kenyataan, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tanpa mengucap salam, aku masuk ke dalam lubang sunyi itu dengan gemuruh dada yang bersahut. Kemana lelaki sialan itu?
“Ibu?” Aku membuka kamar Ayah dengan hati-hati.
Hanya sunyi. Tidak ada yang lain. Hingga tik tok jarum jam dan tetesan air kran seperti biasanya terdengar begitu mencekam. Kubuka pintu itu perlahan.
“Ibu?” Nada suaraku bergetar, seperti halnya tubuh juga detak jantungku. Dan...
Mataku melebar. Sebuah pukulan telak serasa menghantam tepat di dadaku yang tiba-tiba berhenti. Lukisan yang kubawa terjatuh ke lantai, menimbulkan suara berisik sesaat. Ibu duduk di sana. Di depan kanvas bercoretkan warna merah. Ia menoleh ke arahku dengan wajah pias. Pucat. Seperti tak ada kehidupan di sana. Sunyi. Matanya yang hitam pekat menyerupai belati yang tiba-tiba menghunus nyeri di dadaku. Pilu. Tapi bukan itu yang membuat napasku sesak. Di tempat tidur yang berantakan itu, tergeletak sesosok tubuh gempal yang kukenal. Sayatan terdapat hampir di sekujur tubuhnya. Aku melihatnya. Dengan jari-jari tirus yang gemetar, ibuku melukis wajahnya menggunakan merah yang menggenang di lantai.
Aku segera menyobek-nyobek kertas pembungkus lukisan itu dengan asal. Dan kurasakan getaran dingin yang tiba-tiba menjalar. Lukisan abstrak berbentuk tubuh itu...
Dalam waktu bersamaan, suara-suara pada lukisan itu semakin menyayat, berteriak-teriak, dan terperangkap.
Madiun – Ngawi, Juni 2011
Penulis: Amerul Rizki + Eros Rosita (No. 70)
Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini : Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H