Mohon tunggu...
Amalia Adhandayani
Amalia Adhandayani Mohon Tunggu... Freelancer - Akademisi.

Mempelajari psikologi dan kepribadian manusia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hustle Culture pada Generasi Z

19 Februari 2024   19:56 Diperbarui: 19 Februari 2024   19:59 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak perusahaan saat ini mendorong budaya lembur pada karyawannya. Meskipun apresiasi yang diberikan tidak setimpal dengan usaha karyawan dalam bekerja, budaya lembur tetap mendapatkan tempat di dalam tren generasi Z.

Lekatnya generasi Z dengan internet membedakan karakteristik generasi ini dibandingkan generasi lainnya. Mereka cenderung lebih ekspresif dalam menggunakan media sosial, terlibat aktif membagikan pengalaman, pengetahuan dan perasaan yang mereka miliki (Rakhmah, 2020). Meskipun intensitas penggunaan internet yang tinggi pada generasi Z, namun mereka kurang mampu memanfaatkan internet secara optimal untuk mengembangkan kompetensi mereka. Hal ini mengakibatkan adanya kesenjangan keterampilan pada generasi mereka dibandingkan generasi lain seperti generasi X atau baby boomers (Tulgan, 2013). Karena kurang mampu menguasai keterampilan teknis, generasi Z seringkali harus bekerja lebih ekstra daripada generasi lainnya. Akibatnya, generasi Z lebih sering pulang kerja larut malam untuk menyelesaikan pekerjaan mereka.

Selain itu, meningkatnya tren hustle culture pada perusahaan terkait dengan kehidupan para pekerja di luar kantor. Generasi Z, yang menjadikan bekerja di sebuah perusahaan adalah bagian dari gaya hidup mencoba mempertahankan karir mereka dengan mengorbankan waktu luang, tenaga, bahkan kesehatan mental mereka. Sifat kompetitif yang mereka miliki mendorong mereka berlomba-lomba mencapai puncak karir secepat mungkin guna mencapai imbalan yang lebih besar. Hal ini tentu terkait dengan pola konsumerisme yang tinggi pada generasi mereka sehingga semakin mendorong hustle culture adalah hal yang lumrah untuk dilakukan.

Hustle culture diartikan sebagai budaya kerja yang tidak lagi terpaut dengan standar jam kerja secara umum, yaitu nine to five. Cara kerja ini mengharuskan karyawan untuk bekerja terus menerus di luar jam kerja (Lorelie, 2020). Erat dengan citra perusahaan yang baik, budaya ini memiliki ekspektasi tinggi terhadap kinerja karyawannya yang selalu produktif dan berprestasi. Dampak dari hustle culture ini mengakibatkan tidak adanya pemisah antara kehidupan pribadi dan kehidupan kerja, sehingga mempengaruhi kesehatan mental karyawan. Kondisi kelelahan mental dalam bekerja atau burnout menjadi dampak yang paling sering muncul akibat budaya ini.

Hasil survei dari indeed.com menunjukkan bahwa tingkat burnout pada generasi Z adalah yang paling tinggi yaitu 78%, diikuti oleh generasi baby boomers (72%), Gen X (63%), dan generasi milenial (60%). Selain itu, generasi Z juga menyatakan bahwa motivasi kerja mereka menurun selama satu tahun terakhir karena mereka diminta untuk melakukan tugas yang tidak ada dalam deskripsi pekerjaan mereka. Selain menyatakan bahwa pekerjaan mereka berdampak negatif terhadap kesehatan mental, mereka juga mengatakan bahwa pekerjaan mereka menghalangi kepentingan pribadi dan menghabiskan waktu yang seharusnya dihabiskan bersama teman dan keluarga (Sweeney, 2023).

Menilik dari dampak budaya kerja lembur yang negatif, seharusnya generasi Z dapat lebih bijak untuk menentukan cara bekerja yang efektif dan efisien bagi diri mereka. Meskipun hustle culture saat ini dianggap sebagai bagian dari gaya hidup, namun bukanlah suatu keharusan untuk mengadaptasi budaya kerja yang kurang berkontribusi terhadap pengembangan diri. Dengan bekerja secukupnya, kita akan lebih mampu untuk menetapkan prioritas yang tepat bagi kebahagiaan diri.

Referensi:

Rakhmah, D. N. (2020). Memahami Generasi Pasca Millenial: Sebuah Tinjauan Praktik Pembelajaran Siswa. Masyarakat Indonesia, 46(1), 49-64.

Tulgan, B. (2013). Meet Generation Z: The second generation within the giant" Millennial" cohort. Rainmaker Thinking, 125(1), 1-13.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun