Baru-baru ini, sorotan publik tertuju pada pemberian gelar Doctor Honoris Causa kepada Raffi Ahmad oleh sebuah lembaga bernama Universal Institute of Professional Management (UIPM). Namun, alih-alih menuai pujian, pemberian gelar ini justru mengundang kontroversi dan kecaman dari berbagai kalangan.
Pasalnya, banyak yang mempertanyakan kredibilitas lembaga tersebut serta tujuan sebenarnya di balik pemberian gelar. Benarkah ini sekadar penghargaan atas prestasi, atau ada motif tersembunyi seperti branding atau bahkan politik? Fenomena ini menjadi cerminan dari masalah yang lebih besar terkait integritas lembaga akademik dan makna gelar kehormatan di Indonesia.
UIPM dan Citra "Abal-Abal"
Jika kita melihat lebih dalam, UIPM bukanlah lembaga yang populer atau dikenal luas di kalangan akademisi maupun masyarakat umum. Berbeda dengan universitas besar yang kredibilitasnya teruji selama bertahun-tahun, UIPM dikenal lebih sebagai institusi yang memberikan pendidikan daring atau jarak jauh.
Sebuah investigasi oleh Republika mengungkapkan bahwa cabang UIPM di Indonesia berlokasi di sebuah ruang kantor di gedung komersial di Bekasi, yang tampaknya lebih berfungsi sebagai alamat surat-menyurat daripada kampus fisik. Hal ini semakin menimbulkan kecurigaan publik bahwa lembaga ini tidak memiliki legitimasi kuat sebagai penyedia pendidikan tinggi.
Tidak hanya itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Indonesia juga menyatakan bahwa mereka tidak mengenal UIPM sebagai lembaga yang diakui dalam memberikan gelar akademik di negara ini. Fakta ini menimbulkan pertanyaan serius: Apakah gelar kehormatan yang diberikan oleh lembaga semacam itu bisa dianggap sah? Atau, apakah ini sekadar trik untuk meningkatkan citra seseorang tanpa memperhatikan kualitas pendidikan itu sendiri?
Branding Politik di Balik Gelar?
Bukan kali pertama seorang publik figur menerima gelar kehormatan dari lembaga yang kurang jelas kredibilitasnya. Hal serupa sering kali dikaitkan dengan upaya meningkatkan branding pribadi, terutama menjelang kontestasi politik. Ada spekulasi bahwa Raffi Ahmad, dengan popularitasnya yang luar biasa, mungkin sedang membangun citra sebagai "sosok terpelajar" dalam persiapan menuju dunia politik.
Momen ini tentu menarik mengingat banyak selebriti di Indonesia yang terjun ke panggung politik dengan modal popularitas. Salah satu dugaan yang mencuat adalah bahwa pemberian gelar ini bertujuan untuk memperkuat posisinya, terutama jika Raffi berencana mencalonkan diri sebagai wakil rakyat di masa depan.
Kecurigaan ini diperkuat oleh fenomena lain di pemerintahan saat ini. Misalnya, terpilihnya Wakil Presiden dengan IPK hanya 2,3, yang sempat menjadi kontroversi di kalangan masyarakat. Angka tersebut seolah mencerminkan bahwa prestasi akademik bukan lagi tolok ukur utama untuk menduduki jabatan tinggi di negeri ini. Apakah ini menunjukkan bahwa bangsa kita semakin tidak peduli terhadap kualitas pendidikan? Bagaimana dengan para pemimpin yang seharusnya menjadi panutan dalam hal pendidikan?
Pendidikan di antara Kepentingan Politik