Mohon tunggu...
Amelya NurAfifah
Amelya NurAfifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bolehkah Jual Beli Darah untuk Transfusi dalam Islam?

14 Mei 2023   16:12 Diperbarui: 14 Mei 2023   16:34 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perkembangan berbagai penyakit yang dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat dewasa ini dibarengi dengan berbagai perkembangan teknologi dan ilmu kedokteran secara terus menerus. Hal ini tentu mempengaruhi perkembangan praktik medis seperti tranfusi darah dan tranplantasi organ. 

Tingginya tingkat keberhasilan dan banyaknya kebermanfaatan tranfusi darah dalam dunia medis, maka permintaan darah juga semakin tinggi, sehingga ketersediaan donor darah terbatas. Pasien sulit mendapatkan donor darah dan harga yang ditawarkan juga relatif mahal maka membuka peluang terjadinya perdagangan darah secara ilegal oleh  beberapa oknum dan memanfaatkan kesempatan ini untuk memperoleh keuntungan secara komersil.

Dalam PP Nomor 7 Tahun 2011 disebutkan bahwa pendanaan penyelenggaraan pelayanan darah dapat bersumber dari APBN atau APBD. Sedangkan dalam PP Nomor 18 Tahun 1980, bahwa biaya yang diperlukan untuk pelaksanaannya menjadi tanggung jawab PMI. Berdasarkan pasal 33 ayat (1) Peratutan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2014 tentang Unit Transfusi Darah, Bank Darah Rumah Sakit, dan Jejaring Pelayanan Transfusi Darah yaitu dengan sistem distribusi tertutup dan sistem rantai dingin. 

Distribusi tertutup berarti segala proses distribusi dari pemerolehan darah dari pendonor darah  yang dilakukan pihak PMI hingga diserahkan ke rumah sakit tidak melibatkan pasien dan keluarganya. Sedangkan sistem rantai dingin adalah proses penyimpanan dan pendistribusian darah dalam suhu dan kondisi tertentu sesuai dengan  prosedur penyimpanan darah agar darah tidak rusak dan bisa ditranfusikan kepada pasien yang membutuhkan.

Pasal 90 (3) Undang-undang Kesehatan menyatakan bahwa "Darah dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun", oleh karena itu maka pelanggaran terhadap pasal tersebut diancam dengan pindana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000. Melihat praktik nyata yang terjadi di rumah sakit, kita tentu mengetehaui bahwa pihak pasien dan keluarganya tetap mengeluarkan biaya untuk setiap kantong darah yang didapatkan untuk digunakan dalam proses penyembuhan pasien meskipun sudah jelas ada undang-undang yang melarang praktik jual beli darah. 

Hal yang perlu diketahui adalah bahwa biaya yang dikeluarkan oleh pihak pasien dan keluarga pasien bukanlah untuk membeli darah tersebut melainkan sebagai biaya pengelolaan (service cost). Biaya pengelolaan diperlukan untuk mengganti jasa dan juga alat yang diperlukan PMI untuk proses dari awal pengambilan darah, pemeriksaan darah, pengemasan darah, penyimpanan darah, pendistribusian darah hingga tiba di rumah sakit dengan aman dan dapat digunakan pasien untuk pengobatan.

Seperti yang diketahui bahwa darah merupakan salah satu zat yang diharamkan di dalam Islam yang telah disebutkan beberapa ayat di dalam Al-Qur'an. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 173, QS. Al-Maidah ayat 3, dan QS. Al-An’am ayat 145 terdapat larangan secara eksplisit terhadap bangkai, darah, daging babi dan sesuatu yang disembelih tanpa menyebut nama Allah. Darah termasuk ke dalam barang yang najis dan haram zatnya untuk dimakan dan dikonsumsi manusia maka diharamkan juga untuk diperjualbelikan.

Namun ketika kita melihat konteks jual beli darah untuk kegiatan tranfusi darah yang tujuannya sebagai media untuk menyelamatkan nyawa seseorang dan memiliki banyak kebermanfaatan dan unsur tabaru' atau tolong menolong maka praktik jual beli darah untuk tranfusi diperbolehkan. Sebagaiaman ada kaidah fiqhiyah yang artinya "Tidak ada keharaman dalam darurat dan tidak ada kemakruhan dalam hajat". Meskipun begitu praktik jual beli darah tetap harus diperhatikan, terkait sumber pemerolehan darah yang jelas yaitu melalui rumah sakit atau PMI bukan dari jual beli darah ilegal. 

Diperhatikan juga agar tidak memberi imbalan berupa uang yang bertujuan untuk membeli darah seseorang, yang diperbolehkan yaitu memberi asupan berupa makanan dan minuman bergizi sebagai upaya untuk meningkatkan stamina dan kekuatan seseorang yang sudah diambil darahnya. 

Hal tersebut juga yang biasa kita temui di kegiatan donor darah PMI, dimana pihak PMI memberikan nasi kotak atau susu untuk dikonsumsi si pendonor bukan memberikan uang untuk membayar sekantong darah yang didonorkan, hal ini diperbolehkan karena bukan termasuk imbalan yang memiliki maksud jual beli. Begitu pula dengan biaya yang keluarkan oleh pasien, biaya tersebut juga bukan untuk membeli darah namun untuk biaya pengelolaan darah dari proses pendonoran hingga ditranfusikan ke tubuh pasien di rumah sakit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun