Selamat malam, La Penritata. Ada yang selalu kuingat dan kuinginkan darimu tiap selimut menutupi tubuhku: dekap hangat tubuhmu dan usap lembut tanganmu di dahiku. Lalu kau bertanya bagaimana proses fotosintesis, fenomena terjadinya pelangi setelah hujan, dan bagaimana cara kura-kura bercinta.
Kau tentu tahu betapa bosannya aku menjawab semua pertanyaan konyolmu itu. Lalu kau selalu memintaku kembali mengulas kisah mengapa bisa terjadi pertempuran hebat antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Pajajaran akibat kesalahpahaman antara Raja Lingga Buana, Hayam Wuruk, dan Gajah Mada. Lalu dengan santainya kau menyebut perang babat.
“Bubat, La Penritata! Perang Bubat!”
Di luar, bulan sedang menampakkan wajahnya. Aku masih mengenangmu sambil menimang-nimang segala jenis kenangan. Berapa tahun kita pernah bersama? menyiangi belukar kesedihan, mencabuti semak luka, dan menabur segala benih harapan. Tetapi, di manakah kau kini?
Aku sering tertawa pada saat mengingat caramu mencerca pedagang asongan air dalam kemasan yang menjajakan barang dagangannya—yang dengan lantang berteriak aqua padahal yang mereka jajakan merek ades. Katamu, mereka menyebalkan, sama halnya seperti orang yang sering keliru membedakan makna apalagi dan apa lagi.
Tapi La, acap kali aku berpikir bahwa memang takada salahnya menyebut semua merek air dalam kemasan dengan sebutan aqua, bukan? Karena memang aqua berasal dari bahasa latin, yang berarti air.
La Penritata lelaki yang dulu selalu mengecup mata senduku, sekeras apa pun caramu menjauh dari tubuhku, aku akan pelihara ingatan-ingatan manis tentangmu: kau lelaki yang pernah mencintaiku dengan sebenar-benarnya cinta. Cinta tulus yang datang dari lelaki keras kepala sepertimu.
Selamat malam, La Penritata. Segala doa tertuju padamu. Segala jalan terbuka untukmu.
Amel Widya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H