Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Oleh-oleh dari Akademi Lupa Diri

11 Juli 2020   17:44 Diperbarui: 13 Juli 2020   04:18 1025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Emosi negatif yang kita ungkapkan lewat perkataan bisa merusak perasaan pasangan. |Sumber Gambar: kievcheckin.com

Mehrin tersenyum menatap Denniz. Lelaki kesayangannya, keturunan ketujuh dari satu kerajaan besar pada masa lalu, sedang duduk tegak di depannya. Tubuh lelaki tegap itu tampak gagah dibalut tuksedo hitam pekat.

Ia menunduk. Di atas meja sudah tertata rapi macam-macam sendok, garpu, pisau, dan piring. Aneka rupa gelas pun diletakkan begitu hati-hati. Table manner. Ia senang akhirnya bisa mentraktir Denniz makan malam di restoran mewah. Restoran ala Carte.

Adalah Ratu Prancis Catherine de' Medici, pada abad ke-15, yang mulai menggagas upaya agar masyarakat Paris memiliki etiket makan yang baik. Mehrin tahu sejarah itu saat mengikuti kursus singkat etiket makan malam. Ia juga mempelajari kurikulum khusus tentang table manner.

Ia ingat dua hal pokok yang telah ia pelajari. Saat duduk, tegakkan tubuh dan jangan membungkuk, apalagi bersandar diri ke kursi. Saat kedua tangan memegang peralatan makan, kedua siku tidak boleh menyentuh atas meja. Posisi siku tangan harus mengambang, tetapi tidak terlalu tinggi. Ia ingat semua.

Pesanan makanan dan minuman akan diantarkan secara berurutan. Mula-mula hidangan pembuka, lalu hidangan utama, hingga hidangan penutup. 

Pramusaji menata hidangan pembuka di atas meja. Pelan, cekatan, dan hasilnya rapi. Mehrin membuka tas dan mengambil cermin. Ia pulas bibirnya dengan lipstik.

Denniz mendadak berdiri dan berseru, "Jangan bikin malu, Mehrin. Kita sedang fancy dinner. Kamu lagi di table manner. Tahu etiket, dong!"

Mehrin terkesiap. Ia merasa pandangan semua orang tertuju kepadanya. Pipinya panas. Matanya panas. "Pelankan suaramu, Denniz. Duduklah!"

Denniz menggeram. "Norak kamu, Mehrin. Kamu mampu membeli apa saja karena uangmu banyak, tetapi jangan harap kamu bisa membeli derajat!"

Denniz pergi begitu saja.

Marah-marah di Depan Banyak Orang

Denniz merasa derajat sosialnya tinggi sehingga ia mengira sah-sah saja kalau Mehrin harus selalu menuruti keinginannya. Masalahnya, Denniz tidak peka membaca suasana. 

Secinta apa pun, bukan berarti Denniz berwenang mengatur-atur hidup Mehrin. Sesayang apa pun, bukan berarti Denniz berhak memarah-marahi Mehrin di depan banyak orang.

Acara makan malam mewah berakhir tragis. Table manner pun ambyar. Hanya gara-gara Mehrin memperbaiki riasan wajah, Denniz bagai kerasukan iblis. Padahal, naluri mematut diri bagi seorang gadis adalah hal yang wajar. 

Kalaupun dianggap tidak etis, Denniz bisa menegur Mehrin secara baik-baik. Tidak perlu ngegas. Tidak usah marah-marah.

Kisah makan malam mewah yang gagal, seperti yang dialami Mehrin, hanyalah salah satu sekian banyak dampak kegagalan individu dalam mengontrol emosi. Andai saja Denniz mahir menata perasaan, makanan mahal pasti sudah memenuhi usus besarnya. Ini tidak. Hal kecil dibesar-besarkan, masalah besar malah disepelekan.

Sekilas tentang Tata Kelola Rasa Kesal

Semua orang memiliki rasa marah. Itu lumrah. Sangat manusiawi. Akan tetapi, tidak semua orang dapat mengendalikan diri ketika berada di puncak amarahnya.

Kadang rasa marah menguasai diri kita gara-gara hal yang sepele, lalu membludak, dan kita seketika gelap mata sehingga rasa marah itu kita tumpahkan sesuka hati.

Marah besar. Siapa pun yang tidak mahir mengendalikan amarah pasti gampang marah besar. Di luar sana, di sekitar kita, banyak orang yang berkarakter seperti Denniz. Mereka mudah lupa diri ketika hati mereka dikuasai amarah.

Sebaliknya, tidak banyak orang yang bisa setenang Mehrin dalam mengelola perasaan. Ia bisa saja berdiri sambil memaki-maki Denniz, tetapi ia memilih kalem dan menegur Denniz dengan nada suara yang pelan. Itu keterampilan batin yang luar biasa.

Mehrin memiliki kecerdasan emosional. Ia tangguh menghadapi kegagalan, tahan menjalani kesedihan, terampil mengendalikan kemarahan, dan mahir menempatkan emosi dengan porsi yang tepat. 

Bisa saja ia berdiri, mengejar Denniz, dan menahan agar kekasihnya itu tidak pergi. Ia memilih duduk dan bersikap seakan-akan tidak mengalami kejadian memalukan.

Setiap individu perlu memiliki kecerdasan emosional. Bukan hanya Mehrin. Dalilnya ringan. Kondisi emosional dapat memengaruhi pikiran, perkataan, dan perilaku kita. 

Prasangka buruk dalam pikiran bisa merusak fondasi kepercayaan. Jika berlebihan, fondasi kepercayaan kita pada sesama rawan terkena longsor dan gempa.

Emosi negatif yang kita ungkapkan lewat perkataan bisa merusak perasaan pasangan. Jika berlebihan, salah-salah memisahkan. Itulah perlunya menguasai tata kelola rasa. Itu bukan hal asing karena, sebenarnya, kita sudah sering mendengar istilah manajemen amarah (anger management).

Individu yang memiliki kecerdasan emosional akan mengetahui kondisi hati, tahu cara mengekspresikan perasaan, dan dapat mengontrol emosi. Jika kita cerdas secara emosional, banyak manfaat yang bisa kita petik dalam kehidupan sehari-hari.

Perlu kita ingat, kecerdasan emosional bukan pengetahuan yang bisa kita dapatkan di bangku kuliah. Banyak orang yang cerdas secara akademik, tetapi bebal secara emosional. Mereka akhirnya sering gagal di tempat kerja. Sering pula gagal dalam menjalin hubungan dengan orang tercinta.

Mendalami Manajemen Marah

Apakah karena jabatanmu lebih tinggi maka kamu merasa pantas memarahi dan memaki orang yang jabatannya lebih rendah darimu di depan banyak orang? Jika kamu seperti itu, ada yang korslet pada kabel empatimu.

Apakah karena kamu lulusan kampus tersohor maka kamu merasa sah-sah saja mendamprat dan menindas bawahanmu yang lulusan perguruan tinggi tidak tersohor? Jika kamu seperti itu, ada urat simpatimu yang putus.

Apakah pantas karena parasmu rupawan, hartamu berlimpah, gelarmu berderet, atau jabatanmu tinggi sehingga kamu mencaci dan menghina bawahan atau rekan kerjamu di depan banyak orang? Jika kamu seperti itu, otot sopan santunmu sudah rusak parah.

Sebenarnya, kuliah di mana pun tidak akan membuatmu fasih berempati dan bersimpati pada orang lain. Serupawan dan sehartawan apa pun kamu, tidak menjamin hatimu akan peka terhadap perasaan dan harga diri orang lain.

Orang yang memilih diam ketika mendapat perlakuan tidak manusiawi, seperti dimarahi atau dicaci di depan umum, bukan berarti mereka bodoh. Sebenarnya mereka pintar mengendalikan amarah.

Mereka tahu kapan harus berbicara, bagaimana mengatakan isi hati, dan apa efek lidah bagi perasaan orang lain. Mereka memahami asertivitas atau kemampuan mengungkapkan pikiran, perasaan, dan keinginan kepada orang lain secara langsung, jujur, dan terbuka dengan tetap menghargai orang lain.

Sayangnya, manajemen amarah bukan ilmu yang mudah dikuasai. Dasar-dasarnya saja sudah ribet. Kamu harus lebih dulu tahu peristiwa yang memantik marah (anger trigger). 

Lalu, harus mau menakar tingkat kemarahan sesuai dengan situasi pemicunya (anger meter). Terakhir, harus mampu merancang cara mengontrol amarah secara saksama dan dalam tempo yang singkat (anger control plans).

Tiga cara praktis menata amarah itu merupakan endapan pengalaman yang saya peras dari pengamatan mendalam. Tidak muncul begitu saja. Menguasai manajemen amarah juga tidak mudah. Butuh kerja keras dan kerja cerdas. Kalau istilah Dobson, terapi emosi dengan model pendekatan pengalaman kognitif.

Ada orang, misal Denniz, yang mengekspresikan marah dengan melakukan agresivitas kepada orang lain (directed toward others). Entah secara langsung atau tidak langsung. Entah secara lisan atau secara fisik.

Jika rasa marah kita ekspresikan mengarah ke dalam diri (directed inward) atau ditekan ke dalam hati (supressed), akibatnya dapat merusak diri sendiri. Macam-macam dampaknya. Dari risiko tekanan darah tinggi hingga belitan depresi. Dari kecanduan alkohol hingga menyakiti diri sendiri. Dari penyakit pernapasan hingga bunuh diri.

Tidak banyak orang seperti Mehrin yang rasa marahnya mampu ia kontrol dengan baik (well controlled). Rasa marah, termasuk emosi lain seperti cemas dan sedih, justru menyehatkan jika dikelola dengan baik dan dilakukan secara positif (Bhave & Saini, 2009).

Orang yang Merasa Besar

Pipi Mehrin panas. Seperti menerima tamparan keras dari lelaki yang dicintainya. Denniz tidak menjelaskan apa-apa tentang mengapa ia marah begitu rupa.

Keesokan harinya, saat matahari masih sejengkal di ufuk timur, ia dengar suara Denniz memanggil namanya di balik pintu rumah.

Mehrin berjalan ke pintu dan berkata, "Sayang sekali, gengsi dan ego membuat 'orang yang merasa besar' lupa bahwa mereka bisa belajar banyak hal dari 'orang kecil'!"

Denniz tertegun dan berteriak. "Buka pintu, Mehrin...."

Mehrin tidak goyah. "Mungkin benar katamu semalam, Denniz. Aku memang tidak mampu membeli derajat, tapi percayalah aku sanggup membeli kamu!"

Amel Widya

Referensi:

  • Keith S. Dobson. Edisi Ketiga. 2010. Handbook of Cognitive Behavioral Therapies. New York: The Guilford Press.
  • Marcus F Robert. 2007. Aggression and Violence in Adolescence. USA: Cambridge University Press.
  • Swati Y. Bhave & Sunil Saini. 2009. Anger Management. New Delhi: SAGE Publications India Pvt. Ltd.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun