Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Itu bukan pepesan kosong. Bertumpu pada data Badan Pusat Statistik, dalam Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia (Aksan dan Hendry; 2010, 7-15), Indonesia terdiri atas 1.340 suku bangsa, 1.211 bahasa daerah, 17.504 pulau, enam agama resmi yang diakui negara, dan kira-kira 299.000 kelompok penganut kepercayaan.
Berdasarkan fakta kemajemukan di atas, ada dua modal yang muncul. Pertama, modal rukun karena kita membutuhkan kerukunan antarsuku dan antaragama. Kedua, modal tikai jika kita merasa suku atau agama kita yang paling baik atau paling benar. Tentu saja kita spontan memilih "modal rukun" dan mengabaikan "modal tikai" apabila kita menghendaki Republik Indonesia selalu tegak sebagai Negara Kesatuan.
Bagaimanapun, para pendiri bangsa Indonesia sudah menyadari kemajemukan masyarakat Indonesia. Tidak heran jika pada kaki Garuda terentang pita bertuliskan selarik kalimat falsafah luhur. Bhinneka Tunggal Ika. Itu juga bukan pepesan kosong, sebab hanya kebinekaanlah yang dapat meredam pertentangan yang muncul dalam masyarakat plural.
Bhinneka Tunggal Ika memiliki makna filosofis yang dalam. Meskipun terdapat banyak suku, agama, ras, budaya, dan bahasa di Indonesia, semangat kebinekaan atau kebersatuan mengkristal dalam spirit "sebangsa dan setanah air". Jika sudah demikian, seyogianya tidak ada lagi orang, komunitas, organisasi, atau suku yang merasa berhak atau boleh mengintervensi atau mengintimidasi semangat toleransi.
Pancasila sebagai Modal Sosial
Willy Midel Yoseph, anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, dengan tegas menyatakan bahwa Pancasila tidak bisa dikutak-katik lagi. Negara kita merdeka atas perjuangan bersama. Dengan demikian, papar mantan Bupati Murung Raya dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR di Kabupaten Kotawaringin Barat (Sabtu, 8/2/2020), keberagaman kita direkatkan oleh Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Sepaham dengan paparan "penyambung lidah rakyat Kalimantan Tengah" tersebut, ada tiga hal mendasar yang dapat kita camkan. Pertama, Pancasila bukan sekadar dasar negara, melainkan falsafah hidup pemersatu rakyat Indonesia dalam mencapai cita-cita pendirian bangsa. Pendek kata, Pancasila merupakan wujud syukur dalam menerima "garis takdir kemajemukan".
Kedua, kita harus terus mempertebal kesadaran atas kebinekaan melalui edukasi formal, nonformal, dan informal. Sosialisasi Empat Pilar MPR salah satu "jukung" edukasi tempat kita dapat "melayari samudra harapan" agar masyarakat Indonesia meyakini Bhinneka Tunggal Ika sebagai mantra ampuh dalam meredam benih pertentangan antaretnis ataupun antaragama.
Ketiga, Pancasila harus dilepaskan dari tradisi hafalan. Sila Persatuan Indonesia tidak boleh hanya fasih dilafalkan lidah, tetapi harus menjadi jiwa yang menguatkan kita dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jika "jiwa Pancasila" kita selalu sehat, nafsu "merasa paling baik" dibanding suku, ras, atau agama lain akan tercabut dari sanubari kita.
Â