Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ujian Nasional, Sensasi Kompetensi dan Kompetisi

15 Desember 2019   21:11 Diperbarui: 16 Desember 2019   13:40 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bocoran soal UN tiba di tangan siswa lengkap dengan lembar jawabannya. Guru-guru kongkalikong dengan pengawas ujian, lalu mengoreksi dan membetulkan jawaban siswanya yang keliru. 

Uang ikut bermain di ranah ini. Suap-menyuap pindah posisi dari ruang makan di rumah ke ruang ujian di sekolah. Ini bukan dongeng asal ngibul, ini rahasia umum yang seakan-akan dibiarkan terjadi.

Mengevaluasi mutu pendidikan. Itulah tujuan lain dari UN. Nuruddin dkk. dalam bukunya, Ujian Nasional di Madrasah: Persepsi dan Apresiasi Masyarakat (2007:7), menandaskan bahwa "UN dilaksanakan dengan maksud menyediakan informasi yang akurat kepada pengambil kebijakan dan konsumen potensial agar mereka dapat mengambil keputusan yang tepat".

Nah, ini yang menggelitik. Apakah pengambil kebijakan menutup mata terhadap praktik kecurangan dan dampak trauma psikologis akibat UN?

Kecurangan, manipulasi, dan ketidakjujuran terjadi di mana-mana selama bertahun-tahun. Di kota, di desa, di sekolah favorit, termasuk di sekolah berbasis agama.

Mungkin kita sudi merenungkan pertanyaan ini, "Mengapa tidak kita kembalikan tujuan pendidikan sesuai amanat UU Sisdiknas?"

Dalam UU Sisdiknas ditegaskan bahwa "pendidikan adalah usaha sadar dan sengaja untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya".

Sejatinya, mengganti UN adalah usaha sadar dan sengaja yang tengah dirancang oleh Pak Menteri dalam upaya pengembangan potensi siswa. 

Kritik Pak Jusuf Kalla dan nasihat Buya Syafii tentu patut dijadikan "lampu kuning" agar Pak Menteri lebih berhati-hati. Lagi pula, masih ada waktu hingga 2021 untuk mempersiapkan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter agar lebih bergigi.

Sepanjang riwayat ujian akhir di Indonesia, UN memakan waktu terlama sampai-sampai dipercantik dengan nama Ujian Nasional Berbasis Komputer pada era Pak Anies Baswedan. Hasilnya sama saja. 

UN tidak lebih dari sensasi kompetisi daripada ujian kompetensi. Sekolah cenderung banyak-banyakan siswa lulus UN ketimbang memperhebat kompetensi siswa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun