Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Lelaki Bangsat dan Malaikat Maut

2 Mei 2019   22:42 Diperbarui: 2 Mei 2019   23:02 728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ingin kuhadiahkan sebatang belati untuk cintamu yang dibutakan berahi. Kamu tertawa. Katamu, aku tidak takut mati. Aku meringis. Kataku, sekalipun kematianmu sudah ditetapkan? Kamu terbahak. Katamu, suruh Malaikat Maut ke depanku biar kucumbu dia sepuas hatiku.

Burung-burung gagak berkoak-koak di atas kepalaku, matahari siang berkobar-kobar di mata batumu. Aku terbelalak. Tanyaku, seberapa berani kautantang Kematian? Kamu tersentak. Jawabmu, Kematian tidak pernah sanggup merenggut berahi di nyawaku. Burung-burung gagak berdansa di muram mataku, tangan napsumu merobek gaun baruku.

Hujan tumpah di mataku, aku terbanting di puncak takut. Berahi membanjir di matamu, kamu telungkup di atas tubuhku. Aku meronta. Desisku, tidak ada sanggama tanpa cinta. Kamu menggeram. Katamu, setubuh tidak mesti disertai cinta. Suaramu petir di telingaku, berahimu kilat di selangkangku. Aku tidak mengerti kenapa di depanku kamu begitu memuja berahi, padahal di depan orang-orang bibirmu begitu fasih mengumbar moral.

Aku mendongak. Kataku, ke mana perginya moral yang selama ini bertelur di bibirmu? Kamu mendanguk. Katamu, selalu kulucuti moralku setiap kucium bau tubuhmu. Ranjang menderit, seprai mengerut. Aku berlari, kamu memagari. Pintu kamar lebih menyukai kamu. Sempit kamar lebih menolong kamu. Senyap kamar lebih membela kamu.

Hanya ada satu hal yang sangat kuinginkan saat ini. Kematian. Boleh kematianmu, boleh kematianku. Tetapi, Kematian selalu jauh ketika kehadirannya sangat kuinginkan. Kamu terkekeh. Cibirmu, tidak ada jalan bagi Tuhan untuk menolongmu! Aku tertegun. Raungku, Malaikat Maut sedang mempersiapkan upacara kematianmu. Katamu, Malaikat Maut terlalu mungil untuk mencabut nyawaku.

Kaulemparkan tubuhku ke atas ranjang. Setan berahi bernyanyi-nyanyi di matamu. Aku menutup paha. Secepat kilat kamu tengkurap di atas tubuhku. Lidahmu berdansa di kulit leherku. Lidahku ngilu dipatuk gigiku. Aku menenggak darahku sendiri, kamu menelan liurmu sendiri. Kulihat Malaikat Maut tersenyum kepadaku sambil mengambil potongan lidahku. Kematian memeluk tubuhku begitu hangat. Lamat-lamat kudengar raungmu. Katamu, bangsat!

Amel Widya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun