Ketika langit pendidikan mulai terlihat cerah, ketika kebebasan berpendapat mulai tampak indah, tiba-tiba mendung menutupi langit. Suasana seketika suram dan muram.
Suasana suram dan muram itu bermula dari sebuah cerpen. Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya. Cerpen yang digubah oleh Yael Stefany Sinaga itu diposkan di laman milik Suara USU, 12 Maret 2019, menuai komentar dan memantik perdebatan di tengah khalayak pembaca.
Pada mulanya kehadiran cerpen tersebut tidak terlalu memikat perhatian umat. Biasa-biasa saja. Namun, situasi berubah pada 18 Maret 2019 tatkala cerpen itu dipromosikan di akun-akun media sosial Suara USU. Dalam jangka singkat, cerpen anggitan Pimpinan Redaksi Suara USU tersebut viral dan memicu kontroversi.
Lazimnya tulisan lain di media sosial, keterangan penyerta gambar (caption) sengaja ditata semenarik mungkin demi memikat hati netizen. Kalau setiap hari bawa-bawa agama, lama-lama Tuhan bosan juga. Begitu keterangan gambar yang dikutip dari salah satu bagian cerpen. Hasilnya, warganet terpicu untuk berkomentar dan berkasak-kusuk.
Tidak dapat dimungkiri, sentimen agama memang sangat kuat melilit hati dan benak warganet. Tidak heran apabila cerpen tersebut langsung viral. Sebagian merasa gerah karena konten cerpen dianggap mengandung pornografi, sebagian menganggap cerpen tersebut karya sastra belaka yang tidak perlu ditakuti.
Di lain pihak, Rektor USU merasa cerpen tersebut mengusung kampanye keberadaan LGBT. Menurut beliau, banyak kabar lain yang lebih mendidik dan lebih layak ditayangkan di portal pers mahasiswa yang mengusung nama baik USU. Dengan kata lain, cerpen tersebut mencemari nama baik dan reputasi USU.
Di sinilah silang sengkarut bermula. Benang yang semula terurai rapi menjadi kusut masai. Pada 19 Maret, pihak rektorat mengundang Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Suara USU untuk membahas cerpen kontroversial tersebut.
Pihak Suara USUÂ bersikukuh bahwa cerpen itu tidak dihajatkan untuk memperjuangkan orientasi seks tertentu. Akan tetapi, pihak rektorat menolak argumentasi itu. Bahkan, menyamakan cerpen itu dengan toilet yang kotor.
Berangkat dari polemik tersebut, saya tertarik menyasar bagian mana dalam cerpen itu yang mengandung unsur kampanye LGBT dan menyisir sisi mana yang memuat unsur pornografi. Karya sastra memang rentan ditanggapi sesuka hati oleh pembaca, terutama oleh golongan yang rentan pada perbedaan pendapat dan keyakinan.
Mengeja Kata Menguji Makna