Hingga dua belas tahun perkawinan kami, ia masih melukis perempuan-perempuan di kepalanya. Tubuh telanjangnya telentang di depanku, mata bugilnya mengelana ke mana-mana. Di televisi, orang-orang bergerak ke Senayan.
Ekor matanya sebatang pensil berwarna. Ada jejak tubuh wanita-wanita tanpa busana di sana. Urat-urat kemarahan meregang di sana. Siapa saja yang pernah ia dekap bergoyang di sana. Kecuali aku. Ekor matanya sebatang pensil warna, tidak pernah melukis rupaku. Di televisi, rakyat berteriak mencaci penguasa.
Hingga kini ia karuniai malamku dengan begitu banyak keluh dan tanpa sekeping uang belanja. Aku tidak boleh mengeluh apalagi mengaduh. Aku hanya boleh melenguh dan mendesah. Tubuh telanjangnya tengkurap di kanvas tubuhku, tetapi jiwanya sedang melukis entah di kamar siapa. Di televisi, istana negara kalut.
Ekor matanya sebatang pensil warna. Pada Kamis pukul 19.50, ia dobrak pintu rahimku. Dari mulutnya mendetus-detus gairah, mencetus-cetus banyak nama, dan meletup-letupkan maki. Nafsu meledak di batang pensilnya, lalu menjuntai selemah rupiah di depan dolar.
Hingga ia mendengkur, ekor matanya seolah masih melukis perempuan selain aku. Aku menutup mata, menelan marah, merasa sangat hina, dan membayangkan kematian. Ranjang sekarat. Ingin kupotong batang pensilnya, juga batang pensil warna di matanya, tetapi aku tidak mau ia mati. Ekor matanya sebatang pensil warna, biarlah tetap melukis petaka.
Di televisi, pada 21 Mei, Jenderal Penjual Senyum memilih turun takhta. Di kamarku, di atas bantal di dekat kepalanya, esok pagi ia akan membuka mata di depan dua bongkahan susuku.
Amel Widya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H