Mohon tunggu...
Gelora Kata
Gelora Kata Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Sastra Indonesia yang tak kunjung lulus

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Perempuan Pendedah Raudah

15 September 2013   09:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:52 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13792115521120260496

[caption id="attachment_266191" align="aligncenter" width="256" caption="ilustrasi diambil flickr"][/caption]

Perempuan itu, Berwajah teduh, Mendaduh-daduh bayi dalam pangkunya serupa kampuh; selimut kasih yang tiada meredup, cinta yang tak henti meregup. Perempuan itu, tak suka mencium gincu, atau sekadar memoles bedak. Yang di kepalanya ketika di rumah: bagaimana keadaan sawah. Yang di kepalanya ketika di sawah: laku apa anak-anaknya di rumah. Perempuan itu tak pernah lahap buku feminisme tak pernah cecap teori-teori gender dan segala ideologi tentang perjuangan kelas kaumnya. Tapi ia mengasah otot saban harinya pikul-memikul cangkul berbareng suaminya. Ia memasak, mengasuh anak-anak, juga bekerja di petak-petak. Perempuan itu, selalu andil dalam kebijakan ihwal masa depan anak-anaknya ketika tinggi suara suaminya, ia ambilkan minuman hangat penenang dada. Setelah dirasa cukup tepat, ia akan berkata bahwa dialah jua orang tua anak-anaknya. dialah jua punya cinta dan cita-cita. Maka suaminya mengangguk teduh. Perempuan itu, Adalah sang pendedah raudah; taman kehidupan yang tumbuh subur dalam kedamaian. taman kesederhanaan; yang darinya mekarlah segala kembang kebahagiaan dan kecintaan. Perempuan itu, penyiram kembang kasih sayang paling tulus bagi suami dan anak-anaknya. Perempuan itu, tak baca teori-teori kesetaraan tak faham buku-buku intelektual yang dicetak jutaan lembar di perkotaan. Sebab baginya, cukuplah cinta dan kasih sayang sebagai irama; nada-nada penadah kesejatian nada-nada penghidup kehidupan nada-nada pengabul cita-cita nada-nada pendidik manusia. Dialah perempuan desa; Ibu segala manusia. Semarang, 20 Mei 2012.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun