Mohon tunggu...
Gelora Kata
Gelora Kata Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Sastra Indonesia yang tak kunjung lulus

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tenggelamnya Ekspektasi terhadap Zainuddin

7 Januari 2014   10:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:04 1213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Resensi film Tenggelamnya Kapal van der Wijck

Produser: Ram Soraya, Sunil Soraya
Sutradara
:Sunil Soraya
Penulis
Skenario : Donny Dhirgantoro, Imam Tantowi
Pemeran
: Pevita Pearce, Herjunot Ali, Reza Rahadian, Randy Nidji, Gesya Shandy, Arzetti Bilbina, Kevin Andrean, Jajang C  Noer, Niniek L Kariem

Musik                          : Andi Ariel Harsya

Studio                         : Soraya Intercine Films

Teralu terpukau oleh judul sebuah film yang menawan terkadang membuat kita tergesa-gesa dan tak sabar untuk segera menonton film tersebut, lalu mengabaikan bagian-bagian penting dari sebuah film seperti sutradara dan rumah produksi yang sebenarnya bisa membuat kita mengira dan membayangkan akan seperti apakah film itu bahkan sebelum kita menikmati film itu secara keseluruhan, paling tidak kita bisa mempersiapkan tingkatan ekspektasi kita sejauh mana.

Ketergesaan akan segera menikmati film itulah yang saya alami terhadap film Tenggelamnya Kapal van der Wijck (kemudian disingkat TKVDW), sebuah film yang diadaptasi dari novel karya Buya Hamka, novel yang entah berapa kali sudah saya membacanya dan tetap berlinangkan air mata. Karena tak sabar menonton film TKVDW itu, saya lupa mememperhatikan rumah produksinya yang ternyata adalah Soraya Intercine Films, rumah produksi yang memenuhi layar kaca Indonesia dengan sinetron-sinetronnya, kalaupun pernah merambah ke layar lebar, film-film yang digarap tak jauh-jauh dari genre drama romantis ala remaja metropolitan seperti Apa Artinya Cinta, Eiffel I’m in Love dan lain-lain.

Saya baru sadar ketika telah duduk di ruangan teater bioskop dan layar lebar menampilkan tulisan Soraya Intercine besar-besar. Bukan lantaran Soraya Intercine adalah rumah produksi yang selalu menghasilkan film-film yang buruk, tetapi ekspektasi saya terlampau tinggi terhadap film TKVDW, yang saya bayangkan dari film ini adalah penderitaan yang dalam dari seorang pemuda dewasa ketika berhadapan dengan perempuan yang tak kuasa melawan para tetua adat yang adalah perwakilan dari sebuah adat itu sendiri. Sebuah kritik tajam terhadap budaya masyarakat yang gemar mengkotak-kotakkan manusia atas identitas dirinya, lalu mengorbankan manusia demi egosentrisme yang dijunjung tinggi.

TKVDW bagi Buya Hamka bukanlah kisah pergolakan cinta ala remaja semata, sebab di dalamnya menghadirkan tokoh Zaenudin yang berhadapan dengan kerasnya egosentrisme masyarakat yang mengaku beradat dan berbudaya, ia  menderita dari sejak di Minang, lalu ke Padang, hingga ia merantau ke Jakarta. Maka ketika menyadari Zaenudin diperankan oleh Herjunot Ali yang masih terbilang remaja, saya tahu ekspektasi saya akan turun perlahan. Tetapi barangkali Sunil Soraya hendak mengejutkan para penonton dengan mengadaptasi novel sastra dengan intrik-intrik sosial yang begitu kental di dalamnya, maka saya pun membuang subjektivitas diri akan Sunil dan Soraya Intercine, dan mencoba menikmati film TVKDW dengan seksama.

TKVDW ialah perjalanan kehidupan Zainudin (Herjunot Ali), pemuda yatim piatu yang acap dianggap tak bersuku karena ayahnya berasal dari Minangkabau namun  beristrikan orang Makassar. Dua adat yang berbeda, antara budaya Minagkabau (Padang) dan budaya Bugis (Makassar) inilah yang sesungguhnya menjadi isu sentral dalam TKVDW. Kerasnya egosentrisme suatu adat terhadap yang bukan sebudaya dan sesuku dengan mereka itu dibalut dengan pergolakan batin dan cinta antara Zainudin dengan seorang perempuan terpandang di Minang bernama Hayati (Pevita Pearce).

Sejak menjadi yatim piatu, Zainuddin tinggal bersama Mak Base (Niniek L Karim), lalu ketika telah dewasa, Zainuddin merantau ke Batipuh, tanah kelahiran ayahnya. Di sana Zainudin tinggal bersama Mande Jamilah (Jajang C Noer), ia berniat untuk belajar agama. Hidup di Minang dengan sistem matrilineal nya rupanya membuat Zainuddin seringkali mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari lingkungannya, sebab Zainudin berasal dari ibu yang berdarah Makassar, hubungan darahnya dengan Minangkabau dianggap terputus dan tidak diakui. Impiannya akan hidup yang lebih baik di tanah asal ayahnya rupanya pupus sudah karena ketidaknyamanan yang dialami Zainuddin akan kerasnya adat Minang. Pergolakan semakin memuncak ketika pada suatu kala Zainuddin bertemu Hayati, keduanya saling bertukar surat dan berbalas cinta.

Tetapi oleh karena isu-isu yang tidak mengenakkan terhadap hubungan Zainudin dan Hayati, dan atas perintah dari paman Hayati, Zainudin diusir dari Batipuh menuju ke Padang Panjang. Di sana ia memperdalam ilmu agama. Sampai  suatu ketika Zainuddin memberanikan diri melamar Hayati melalui suratnya, namun nasib tak berpihak padanya. Keluarga Hayati lebih memilih menerima pinangan seorang pemuda bangsawan bernama Aziz (Reza Rahadian), lelaki bersuku Minang yang dikenal suka bermain judi dan perempuan. Mengetahui pernikahan Hayati dengan Aziz, Zainuddin kehilangan semangat hidupnya, ia berdiam diri di kamarnya sekian lama, hidupnya dihabiskan berbaring dan menyebut-nyebut nama Hayati. Lalu karena kepandaian sahabatnya yang bernama Muluk (Randy Danistha) dalam membujuk dan memberi semangat kepada Zainuddin, akhirnya Zainuddin berniat mengubah haluan hidupnya untuk menjadi seorang penulis, maka Muluk dan Zainudin merantau ke tanah Jawa, di Surabaya.

Di Tanah Jawa itulah, Zainudin akhirnya berhasil menjadi penulis sukses dan terkenal. Sampai suatu ketika Hayati dan Aziz merantau pula ke Surabaya, namun kehidupan di Surabaya dan gaya hidup Aziz yang masih suka bermain judi membuat mereka bangkrut. Karena kebaikan Zainuddin, keduanya tinggal di rumah Zainuddin, sampai suatu ketika Aziz meninggalkan rumah Zainuddin, ia tinggalkan sepucuk surat yang mengatakan bahwa ia menyerahkan Hayati kepadanya. Dan esoknya tersiar kabar bahwa Aziz bunuh diri di sebuah hotel di Surabaya. Bergejolak hati Hayati dan Zainuddin. Betapapun itu kesempatan Zainudin untuk mendapatkan cintanya kembali, namun karena ingat akan pengkhianatan Hayati, justru ia mengusir Hayati dari rumahnya, lalu berangkatlah Hayati dengan menaiki kapal Van Der Wijck yang kemudian tenggelam di tengah lautan.

Ending yang Berbeda

Selalu ada perbedaan ketika sebuah novel diadaptasi menjadi sebuah film, ataupun sebaliknya, Seperti halnya dalam film TVKDW besutan Sunil ini, ada bagian-bagian dalam novel yang tak ditampilkan ke dalam layar lebar. Dan bukan lantas pilihan untuk tidak menampilkan bagian-bagian tersebut itu dipahami sebagai sebuah kekurangan. Tentu tidak mungkin film mengadaptasi keseluruhan cerita sedetil-detilnya. Dalam TVKDW, bagian yang paling terlihat adalah ending yang terasa jauh berbeda dengan novelnya.

Di dalam versi novelnya, Hamka menciptakan ending yang penuh duka: kematian Zainuddin beserta penyesalannya yang terlampau dalam akan kepergian Hayati menaiki kapal Van Der Wijck. Zainuddin merasa bahwa dirinya sendirilah yang mengantarkan Hayati kepada ajalnya. Penyesalan itu membuatnya layu sebagai seorang penulis yang pernah sukses. Gubahan-gubahan cerita Zainuddin tak lagi tercetak di surat-surat kabar ataupun etalase toko buku. Sampai tersiar kabar Zainuddin meninggal. Berbeda jauh dengan novelnya, film TVKDW menyuguhkan suasana diri dan jiwa Zainuddin yang berbanding terbalik, di film ini, Zainuddin digambarkan tetap menjalani hidup sebagai seorang penulis yang sukses, dan bahkan rumahnya yang megah dijadikan sebagai rumah bagi anak-anak yatim piatu, ia namakan yayasan sosial itu dengan HAYATI.

Inkonsistensi Waktu

Banyak yang menyamakan film TVKDW ini dengan film Titanic yang melegenda, meskipun efek animasi dalam TVKDW begitu terlihat tidak nyata, belum lagi kurangnya dramatisasi di bagian tenggelamnya kapal yang dinaiki Hayati, tetapi usaha Sunil dalam membuat film dengan efek animasi patut diapresiasi. Terasa sekali adanya kesan bahwa film ini dibuat dengan mengutamakan estetika sinematografis yang memukau, namun sayang melupakan bagian krusial dari visualisasi sebuah adegan dengan latar waktu di masa lampau. Banyak bagian yang ‘terlalu’ modern dan kekinian untuk sebuah film yang menggambarkan kisah di tahun 1930-an. Terasa banyak inkonsistensi dan ketidaksinkronan di mana-mana, busana dengan warna yang terlalu mencolok, setting kasino dan bar, rumah Zainuddin di Surabaya yang terlampau mewah dan yang paling terasa aneh adalah ketika Zainuddin menampilkan opera di Surabaya, adanya dance sequence seketika meruntuhkan visualisasi akan masa 30-an. Bukankah aneh ketika kita melihat seseorang berbicara dengan ragam bahasa tahun 30-an namun busana yang dikenakannya justru ala eksekutif muda metropolitan jaman sekarang?

Tetapi yang perlu diacungi jempol dari film ini adalah dialog-dialog yang dibangun dengan dialek Bugis dan Makassar yang cukup memukau. Kekuatan dialek dalam film ini telah berhasil merepresentasikan adat Minang dan Bugis yang diangkat, meskipun dalam versi novelnya justru Hamka bisa dikatakan hampir tidak pernah menggunakan dialek dalam susunan dialog antar tokohnya. Tentu susah untuk men-dialog-kan dialek yang hampir tidak pernah kita pakai dalam bahasa sehari-hari kita, tetapi usaha Herjunot dan Pevita perlu diapresiasi sekalipun penonton seringkali tergelak-gelak ketika melihat Zainuddin yang diperankan Herjunot menuturkan kalimat dengan bahasa Minangnya.

Zainuddin yang (tak) Menderita

Soal akting, saya harus memuji Pevita Pearce yang sekalipun ia berusaha memerankan tokoh Hayati dengan pergolakan batin yang ditahannya bertahun-tahun namun ia tak terkesan berlebih-lebihan, seperti apa yang dilakukan Herjunot. Agak mengganggu sesungguhnya ketika film ini menampilkan adegan-adegan penuh kesedihan, penuh penderitaan, justru hampir semua penonton tertawa karenanya. Tentu bukan karena alasan, selain karena barangkali Herjunot sudah kadung lekat dengan perannya yang kocak di film 5 cm, juga ia terkesan kurang mewakili sosok Zainuddin yang penuh penderitaan, bahkan di bagian akhir ketika Hayati menemui ajalnya, air mata berlinang-linang pada wajah Herjunot tetap membuat para penonton tergelak-gelak. Saya harus menelan pil kekecewaan bertubi-tubi, selain karena Herjunot gagal mewakili karakter Zainudin, tawa penonton di bagian-bagian dramatis antara Zainudin dan Hayati juga membuat saya semakin yakin bahwa Herjunot betul-betul gagal dalam menciptakan penderitaan dan dramatisasi.

Ekspektasi saya terhadap sosok Zainuddin, seorang penyair yang sederhana namun bergolak-golak batinnya dan penuh derita, tenggelam sudah oleh film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Namun kita semua paham betul bahwa ekranisasi (proses adaptasi dari genre sastra satu ke genre lainnya) dari novel ke film selalu diharapkan pada persoalan “matinya imajinasi penonton”, orang bisa berimajinasi seliar-liarnya semaunya sendiri ketika ia membaca novel, tetapi film menyuguhkan pembatasan atas imajinasi tersebut. Bukan lantas film selalu lebih buruk dari novel, justru di situlah tantangan besar seorang pencipta film, sekalipun film membatasi imajinasi tetapi kalau film itu berhasil menciptakan visualisasi yang berhasil mewakili kehadiran novel, di situlah keberhasilannya. Saya tak hendak mengatakan bahwa film TKVDW gagal mewakili pandangan Hamka, film TVKDW berhasil merunutkan plot dengan isu-isu dan kritik sosial di dalamnya. Dengan dialek yang terus menerus dimunculkan saya justru berpikir bahwa film Indonesia yang baik bukan hanya film yang diproduksi dengan menggunakan bahasa Indonesia, tetapi juga film yang mengangkat kekayaan bahasa dan lokalitas yang dimiliki bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya.

Film-film dengan mengangkat lokalitas dan budaya daerah seperti ini perlu terus dihasilkan, sekalipun dalam penyampaiannya terdapat kritik terhadap budaya tersebut, justru di situlah letak kedewasaan kita sebagai bangsa dengan budaya yang kaya. Mengkritik bukan berarti membenci dan ingin menghapusnya sama sekali. Mengkritik berarti karena kita peduli. Mengkritik berarti karena kita ingin ada yang terus dikembangkan dan diperbaiki.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun