Ramadhan. Kau datang lagi. Sudah setahun berlalu sejak kisahku membeku di ujung waktu. Memori indah, walau judulnya yang 'bertepuk sebelah tangan' jelas-jelas sendu. Syukurlah, ujian zina hati itu telah berakhir. Kini, kuputuskan menjadi diri baru dengan tampilan hijab menjulur hingga dada. Sejalan dengan itu, juga belajar bagaimana perempuan mestinya menundukkan pandangan.
     Kang Ali. Rasanya aku tak punya muka lagi jika Allah mempertemukan kita kembali. Aku malu. Mengapa dulu seorang gadis tanpa kerudung berani-beraninya menguber-uber seorang mu'adzin yang notabene pesantren made. Mujur tak sampai seperti Siti Zulaikha yang menghalalkan segala cara. Ya Allah, berulang-ulang kali aku mengelus dada mengenang masa-masa kelabu itu.
***
 "Assalamu'alaikum Pak Buk, Sore. Sibuk toh? Alhamdulillah iya Pak, saya dipercaya lagi di Ramadhan tahun ini. Ditunggu kedatangannya di mushalla ya Pak." Seorang pemuda berkopiah, baju koko putih, dan sarung motif tenun dari kejauhan kulihat tengah beramah tamah dengan bapak ibu yang kebetulan sedang beres-beres menyambut satu Ramadhan.
Mataku seperti terpantik menyadari sesuatu. Segera, kusematkan ujung hijab yang panjang ke sudut kiri wajah membentuk cadar. Kubereskan sapu lidi dan serokan lalu melangkah cepat ke dalam rumah. Sejurus kilatan cahaya, kedua bola mata teduh itu menyapaku.
"Assalamu'alaikum ukhti..." Sapaannya nyaris menghentikan langkahku. Detak jantungku langsung tak karuan. "Waalaikumussalam." Jawabku sambil tetap meneruskan maksud awalku. Dari balik pintu, kuintip sosoknya yang masih berdiri disana, tak bergerak sedikitpun. Mungkin ia heran mengapa sambutanku tak sesumringah warga lain.
"Ali..." Seorang bapak tua berpakaian serupa bersorak dari mushalla tak jauh dari kediamanku. Sigap, pemuda yang dipanggil 'Ali' tadi menuju ke sumber suara sebelum sempat menyelesaikan teka-teki yang muncul di pikirannya.
***
 Kang Ali memang memiliki daya tarik tersendiri di hati setiap warga kampung kami. Ia sudah dianggap seperti putra kampung, walaupun statusnya hanya sebatas muadzin perantau. Setiap ramadhan, mushalla pasti selalu hidup dengan kehadirannya. Apalagi para ibu yang senantiasa menyalaminya selepas witir dan menawarinya datang ke rumah untuk berbuka atau sahur bersama. Niatnya tak lain tak bukan ingin mengkhitbah Kang Ali menjadi mantu mereka. Kuhela nafas panjang berkali-kali. Sudahlah kalau jodoh tak akan kemana, pikirku. Allah sajalah yang tahu isi hatiku. Tiada perlu kuumbar-umbar.
 Perihal shaf, kini aku lebih menyukai deret paling belakang. Bukan tak paham dengan keutamaan shaf depan, tapi aku tak mau kekhusyukanku buyar dan syetan memanfaatkan kelemahanku. Sehabis witir, aku bergegas pulang sebelum disuruh bapak marbot memimpin tadarus. Bukan tak mau, tapi aku lebih mau belajar menjaga nada sanubariku yang berantakan daripada menjaga bacaan quranku yang jauh lumayan.
Memang tak selamanya Allah mengizinkanku mengelak. Kala itu aku tergabung dalam panitia konsumsi tim ramadhan. Sewaktu akan mengangkat baki mengantarkan minum untuk para tamu, aku kaku ditempatku. Kang Ali tepat di depanku. Baki yang kupegang nyaris oleng.