[caption id="attachment_122660" align="aligncenter" width="300" caption="Love and Money"][/caption] Setelah akhirnya saya berhasil mendapatkan terjemahan Pride and Prejudice karangan Jane Austen, dan sudah membacanya sampai dengan setengah bagiannya, saya mulai merasa dapat memahami perasaan dan pandangan Jane Austen mengenai takdir seorang perempuan pada masanya. Pemikiran-pemikiran ini seringkali ia tuangkan kedalam tokoh-tokoh di bukunya, contoh nyatanya adalah karakter Elizabeth Bennet.
Baik Elizabeth Bennet, maupun Jane Austen, berpandangan dan bersikap nyentrik terhadap kebudayaan dan pandangan masyarakat yang ada pada masa itu, khususnya dalam hal pernikahan.Masa depan seorang perempuan Inggris pada saat itu ditentukan oleh sebuah pernikahan. Berdasarkan pemahaman saya dari beberapa buku terkait yang pernah saya baca, seorang perempuan tidak akan mendapatkan bagian harta warisan yang lebih besar dari saudara laki-lakinya (kecuali jika perempuan tersebut adalah seorang anak tunggal). Contohnya, dalam sebuh keluarga, terdapat 3 orang anak perempuan dan dua orang anak laki-laki. Maka dua anak laki-laki tersebut akan mendapatkan bagian warisan yang lebih banyak ketimbang tiga orang anak perempuan, karena anggapan bahwa seluruh kehidupan anak perempuan akan ditanggung oleh laki-laki yang menjadi suaminya kelak.
Sedangkan bagi keluarga bangsawan, pernikahan untuk memperoleh suami yang kaya bukan lagi mejadi prioritas utama. Karena perempuan dari kalangan bangsawan, atau putri seorang tuan tanah atau pedagang yang kaya raya, umumnya akan memiliki warisan yang cukup besar pula, sehingga dari segi materi, hidup mereka sudah lebih terjamin. Oleh karena itu pernikahan dalam tipe masyarakat ini bukan hanya untuk memperoleh suami dengan pendapatan pertahun yang lebih besar darinya, tetapi lebih bertujuan untuk menjalin kerjasama yang menguntungkan antara kedua keluarga. Contohnya, penggabungan aset tanah yang dimiliki oleh kedua keluarga dapat memberikan keuntungan yang berlipat, atau kerjasama dalam bisnis perdagangan. Selain hal-hal yang berbau materi, tentu saja pendidikan, manner, kemampuan dalam bidang seni atau olahraga, dan latar belakang keluarga turut menjadi faktor yang menentukan.
Meskipun tidak pernah ada ketetapan yang menentukan, namun pernikahan dilihat berdasarkan kelas masyarakatnya: bangsawan dengan bangsawan dan masyarakat biasa dengan yang biasa pula. Karena pada masa itu, cara pandang seseorang terhadap orang lain seringkali hanya ditentukan oleh dua hal: materi dan pembawaan sikap. Keduanya saling melengkapi satu sama lain, dan membentuk image seseorang. Materi, adalah hal-hal yang berkaitan dengan jumlah pendapatan dan luas tanah yang dimiliki oleh seseorang. Sedangkan pembawaan sikap, terdiri atas latar belakang pendidikan, latar belakang keluarga, kemampuan bermain musik dan olahraga, kepintaran, dan keramahan yang dapat terlihat ketika berbicara.
Dan bagi sebuah keluarga yang memiliki anak perempuan, dapat menikahkan anak-anak perempuannya dengan laki-laki yang memenuhi kriteria tersebut, dapat ikut pula meningkatkan derajat satu keluarganya. Hanya segelintir orang yang bisa menikah karena perasaan sayang tanpa tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya. Kurang lebih seperti itulah kebudayaan dan cara pandang masayarakat Inggris, sekitar 150 tahun yang lalu
Jika saya membandingkan pada situasi yang terjadi saat ini, dengan lingkungan yang ada disekitar, sepertinya belum terlalu banyak perubahan yang terjadi. Well... di Indonesia memang tidak mengenai istilah tuan tanah atau bangsawan, tapi cara seseorang memandang pernikahan dengan terlalu dangkal, membuat saya merasa sedih.
Sedih karena meskipun ratusan tahun telah berlalu, tetapi pemikiran untuk menempatkan nasib perempuan kepada laki-laki masih terjadi, dan sedih karena perempuan itu sendiri, tidak merasa keberatan untuk ditempatkan dalam situasi seperti itu.
Jika anda perempuan, coba anda ingat kembali seberapa seringkah anda mendengar nasihat dari orangtua dan kerabat anda, mengenai mendapatkan calon suami yang pintar, mapan, punya rumah sendiri, dan memiliki pekerjaan yang bagus. Masalah penampilan atau fisik, tidak terlalu penting, selama laki-laki tersebut mampu menjamin kehidupan perempuan yang akan menjadi istrinya kelak. Di lain pihak, nasihat yang selalu perempuan dapatkan, seringkali mengubah pola pikirnya (dimana hal ini membuat perempuan menjadi terlihat semakin menyedihkan). Bahkan terkadang, pendidikan yang ia dapatkan hampir tidak merubah apapun kecuali kemampuannya dalam menghitung 1+1.
Bagi perempuan yang berasal dari keluarga menengah kebawah, tuntutan untuk mendapatkan seorang suami yang dapat menjamin kebutuhan materi sudah biasa terjadi. Terdapat tiga faktor yang mendorong terjadinya hal ini: pertama, faktor pendidikan. Bagi keluarga yang memiliki keterbatasan materi, terbatasnya akses pendidikan bagi anak-anak perempuan mereka adalah hal yang sulit dihindari. Sehingga perempuan-perempuan tersebut hampir tidak memiliki kesempatan untuk membentuk pola pikirnya sendiri dan menentukan cita-cita mereka. Bahkan meskipun mereka memiliki sifat yang haus akan pendidikan yang lebih tinggi, mereka harus tetap fokus untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Dalam situasi seperti ini, menikah dengan laki-laki yang lebih mapan dalam hal materi menjadi sebuah exit strategy yang baik
Kedua, faktor budaya. Albert Camus mengatakan ”Culture: the cry of men in face of their destiny”. Kaitannya dengan pembahasan ini, masih terdapat keluarga yang menganggap pendidikan bagi anak perempuan bukan sebagai suatu hal yang penting. Jangan pernah meremehkan pendidikan. Karena pendidikan formal yang diterima di sekolah dan lingkungan yang terdapat disekolah, berkontribusi dalam pembentukan pola pikir seseorang. Bagi sebagian besar keluarga, jenis ”pendidikan” yang paling penting bagi perempuan adalah jika perempuan sudah mampu memasak, memberikan keturunan, dan mengurus rumah (termasuk suami dan anak-anak). Tidak, saya bukan sedang menghina perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga yang baik, tetapi jangan menjadikan alasan ini sebagai penghalang bagi perempuan yang ingin lebih memperluas pemikirannya. Bayangkan jika disetiap generasi seorang ibu menekankan pada anak-anak perempuannya untuk memperdalam pendidikan informal dan mengabaikan pendidikan formal, maka perkembangan Indonesia akan stuck dalam satu titik, mengingat jumlah perempuan yang mendominasi total penduduk.
Ketiga, faktor individu. Saya cukup sering menemui perempuan-perempuan yang berkesempatan memperoleh pendidikan yang lebih baik daripada perempuan lainnya, dan memiliki keluarga yang lebih modern dan berpandangan terbuka, tetapi tidak mampu memanfaatkan kesempatan itu dengan baik. Perempuan seperti ini umumnya memiliki cita-cita yang banyak: jalan-jalan keliling dunia, mobil pribadi, rumah mewah, belanja tanpa batas, dan gadget terbaru. Ketika saya tanya bagaimana cara mencapai semua cita-citanya, dengan singkat mereka menjawab: dengan menikahi laki-laki yang kaya. Rasa prihatin saya lebih kepada cara pandang mereka yang tidak berkembang, dan bersikap malas-malasan, dengan pemikiran ”jika dapat hidup senang dengan modal fisik, kenapa harus susah payah belajar?”.
Anyway, sebuah pernikahan, baik itu di Inggris pada abad ke-18, maupun di Indonesia di abad 21, masih digunakan sebagai jembatan bagi perempuan-perempuan muda agar dapat hidup lebih baik dan meningkatkan martabat dirinya sendiri dan keluarga, yang semua beban tersebut diberikan pada laki-laki yang akan menjadi suaminya. Tanpa adanya perasaan tersinggung karena berada dalam situasi yang merendahkan, beberapa dari mereka justru berlomba-lomba membongkar-pasang bagian tubuh mereka dan menjadikannya sebagai investasi untuk ”masa depan yang lebih cerah lagi”.
Ini usul dari saya, bagaimana dengan lebih menghargai diri anda sendiri, dan bekerja keras untuk mendapatkan hal yang anda inginkan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H