Mohon tunggu...
Amelia Wulandari
Amelia Wulandari Mohon Tunggu... Administrasi - wanita biasa

wanita receh suka menulis hal recehan. Ibu rumah tangga lulusan sekolah kuliner yang suka memasak dan membagikan resep.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Margaretha Mentari

7 Mei 2015   23:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:16 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : poweryong.deviantart.com

Margaretha Mentari. Demikian namanya. Margaretha diberikan oleh Pastor di Bali sebagai nama baptis bayi perempuan yang manis itu. Sedangkan Mentari adalah nama pemberian orangtuanya. Mentari dipilih karena wajahnya selalu bersinar-sinar seperti matahari pagi yang selalu cerah dan membahagiakan semua orang. Kemudian, panggilan anak itu Tari. Orangtuanya berharap Tari akan menjadi anak yang pandai menari, maklum, orangtuanya adalah pemilik sekaligus guru di sebuah Sanggar Tari yang terkenal di Bali.Tari kecil yang nakal tapi pandai dan ceria tumbuh menjadi idola seluruh orang di kampungnya. Banyak anak yang ingin bermain dengannya karena karakternya yang baik dan ceria. Tetapi Tari tidak pandai menari seperti yang diharapkan orangtuanya. Meskipun kecewa, orangtua Tari tetap menghargai keputusan Tari yang lebih memilih jalur design daripada tari. Tahun ini Tari lulus SMA dan memilih untuk berkuliah di jurusan DKV di sebuah kampus elit di Surabaya. Maklum saja orangtua Tari adalah orang yang cukup berada. Awalnya orangtua Tari tidak setuju untuk mengirim putri tunggalnya untuk bersekolah di Surabaya. Tetapi setelah dibujuk dan dirayu akhirnya luluhlah hati orangtuanya.

Tahun-tahun pertamanya di Surabaya berjalan dengan lancar. Tari memiliki banyak teman dan dia tetap hidup sederhana seperti dulu ketika di Bali meskipun sebenarnya orangtuanya tidak pernah membatasi uang jajannya. Buktinya saja Tari selalu makan seadanya dan tidak terlalu sering ikut ketika teman-teman yang mengajaknya untuk berjalan-jalan atau sekedar mencoba restoran baru. Yahh, memang begitulah Tari selalu berhemat dan menabung seperti ajaran orangtuanya.

Tari yang sangat cantik, ramah, dan pandai ternyata tidak pernah jatuh cinta. Hal ini disebabkan karena orangtuanya yang menganggap pacaran itu pamali sehingga orangtuanya selalu berpesan “jangan pacaran dulu ya nak, nanti saja pacarannya. Biar satu untuk yang pertama dan terakhir”. Wejangan itu selalu dituruti Tari hingga dia bertemu John. Ketika awal mula dia melihat John pada saat memasuki kuliah diapun terpesona. Pandangan Tari langsung terbius ketika melihat ketampanan John. John memiliki perawakan yang tinggi, badannya bagus, rambutnya model cepak saat ini dan matanya sangat indah. Dia juga sangat pandai dan terlihat memiliki tanggung jawab yang besar. Iyaa dong bertanggung jawab, kan si John ketua Senat di kampus. Betapa hebatnya dia di mata Tari.

Tari adalah mahasiswa baru di sana. Sedangkan John adalah siswa semester lima. John memiliki kepribadian yang tidak jauh berbeda dengan Tari. Dia ceria dan mudah akrab, hal inilah yang membuat John dan Tari cepat akrab. Awalnya hanya sebatas kakak dan adik kelas, lalu berlanjut ke chatting di Line. Semakin waktu berjalan, kedekatan merekapun juga semakin erat. Dimana ada John di sana ada Tari, hingga akhirnya merekapun jatuh cinta. Hingga akhirnya mereka menjadi sepasang kekasih. Tentu saja hal ini disembunyikan Tari dari kedua orangtuanya.

“Jika Bapak Ibu tahu, matilah aku. Sudah berbeda daerah asal, berbeda agama pula. Lebih baik diam-diam dan menikmatinya saja,” pikir tari.

Hari-hari yang berbahagia berjalan terus menerus hingga ada sebuah konflik yang terjadi. Konflik yang tidak pernah mereka pikirkan sebelumnya akan menjadi pemisah mereka. Seperti minggu biasanya, Tari pergi ke Gereja dan John ke Vihara (John memang beragama Budha) dan setelah selesai dengan acara masing-masing di tempat ibadah mereka akan bertemu lalu makan siang bersama. Hingga saat John mengutarakan pikirannya mereka masih berbincang dengan riang gembira. Sampai akhirnya keluarlah percakapan ini.

“Tar, gimana kalo kita nikah nanti ya?” John bertanya

“Kita bakalan bahagia dong, kan kita saling cinta. Kita bisa tinggal di Bali. Memulai usaha membuat café tematik yang kita impikan itu tuh,” jawab Tari

“Bagaimana dengan orangtuaku? Mereka kemarin menuntutku untuk meneruskan usaha keluarga di Surabaya,” tukas John

“Kalau gitu kan bisa kita rundingkan lagi, mungkin kamu bisa bolak balik Bali-Surabaya,” jawab Tari dengan senyuman untuk meyakinkan John

“Tidak bisa. Aku gamau dong berjauhan dengan istriku. Kamu harus ikut aku di Surabaya, dan aku juga memikirkan kondisi kita yang berbeda agama,” jawab John mulai ragu

“Baiklah, untuk masalah yang satu itu biar aku rundingkan. Pasti orangtuaku memahami dan mengijinkan jika aku mengikutimu ke Surabaya jika kau menjadi suamiku. Lalu mengapa dengan agama? Bukankah selama ini baik saja?” tanya Tari bingung.

“Agama kita kan berbeda Tar, bagaimana nanti jika aku dan keluargaku berdoa, masa kamu duduk diam sendirian?” tanya John juga.

“aku bisa dong maklumin kamu. Tenang aja. Selama aku tidak diminta untuk berpindah ke agama lain”. Tari meyakinkan John.

Perselisihan mereka ini terjadi selama beberapa jam. Hingga akhirnya John mengambil keputusan untuk tidak lagi bersama dengan Tari. Tari menangis sejadi-jadinya karena keputusan John. Perasaannya campur aduk. John tidak mau lagi berbicara dengannya, dan John tidak menyapanya sama sekali ketika mereka bertemu. Ketika Tari menanyakan alasannya secara langsung dan paksa John berkata bahwa tindakannya ini untuk kebaikan Tari, agar dia tidak sedih.

Tari yang dulunya anak yang taat beribadah sekarang menjadi malas beribadah. Dia berpikir, untuk apa dia beragama jikalau agama hanya akan memecahbelahkan kebahagiaannya, untuk apa berdoa kalau ternyata beragama apabila agama menjadi boomerang dalam diri sendiri dan untuk apa berdoa apabila keadilan tidak dapat ditegakkan. Akhirnya Taripun semakin terpuruk. Wajahnya tidak lagi bersinar bak mentari pagi. Hatinya hancur berkeping-keping, dan indahnya mentari pagi telah hilang terhapus awan dan hujan yang selalu membasahi matanya. Hari-hari yang dirasakan Tari semakin berat dan dia merasa tidak sanggup menahan beban hidupnya. Perlahan tetapi pasti, kondisi mental Tari mulai drop begitu juga dengan kesehatannya. Tari jarang makan sehingga dia kurus, dan dia hampir tidak pernah kuliah.

Lalu John? Entahlah. John menghilang bak ditelan bumi. Meninggalkan Tari dan kenangan mereka selama ini. Kabar terakhir mengenai John yang terdengar adalah dia sibuk meneruskan bisnis keluarganya karena ayahnya terkena stroke, dan ibunya akan menjodohkannya dengan wanita pilihan ibunya karena alasan bisnis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun