Media sosial tentunya merupakan hal yang sekarang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia dari berbagai kelangan, berkembangnya teknologi tentunya membuat Masyarakat luas dapat mengakses berbagai informasi dari seluruh penjuru dunia. Media sosial biasa digunakan untuk pekerjaan maupun hiburan pada saat waktu luang.Â
Dilansir dari databoks.katadata pengguna media sosial pada tahun 2024 memiliki jumlah Total Pengguna : 191 juta pengguna (73,7% dari populasi) dengan Pengguna Aktif : 167 juta pengguna (64,3% dari populasi). Jenis aplikasi yang digunakan juga tentunya beragam biasanya menyesuaikan dengan usia pengguna media sosial tersebut. Dilansir dari RRI usia pengguna media sosial sendiri didominasi oleh usia 18-34 tahun (54,1%), dengan jenis kelamin perempuan (51,3%) sementara laki-laki (48,7%).
Konten yang sering ditemukan di media sosial saat ini juga tentunya sangat beragam dan tidak menutup kemungkinan kita pun bisa mendapatkan informasi penting dari media sosial seperti tutorial memasak, cara mengerjakan soal matematika, belajar Bahasa asing dan lain sebagainya. Frekuensi penggunaan media sosial masyarakat indonesia rata-rata menghabiskan 3 jam 14 menit per hari dan 81% mengaksesnya setiap hari. Aktivitas yang sering dilakukan pun beragam mulai dari berbagi foto/video (81%), komunikasi (79%), berita/informasi (73%), hiburan (68%), belanja online (61%). (Radio Republik Indonesia, 2024)
Body dysmorphic disorder atau sering juga disebut dengan gangguan dismorfik tubuh merupakan salah satu masalah yang ditandai oleh kekhawatiran yang berlebihan terhadap kekurangan atau ketidaksempurnaan dalam penampilan fisik individu. (Ekaptiningrum, 2023) Mungkin kalian bisa membayangkan seseorang yang selalu merasa cemas setiap kali melihat dirinya sendiri di cermin, Ia sering memeriksa wajah atau tubuhnya, mencari sesuatu yang menurutnya salah. Namun, kecemasannya bukan hanya itu, terdapat perasaan yang lebih besar, yaitu keyakinan yang kuat bahwa ada kekurangan pada tubuhnya, sesuatu yang membuatnya merasa tidak sempurna.Â
Dia juga merasa seolah-olah setiap mata yang memandangnya melihat kekurangannya dan menilainya secara negatif, Ini merupakan gambaran dari seseorang yang mengalami gangguan dismorfik tubuh, suatu kondisi di mana pikiran tentang kekurangan fisik yang dirasakan terus-menerus mendominasi, meskipun bagi orang lain, kekurangan tersebut mungkin sangat kecil atau bahkan tidak ada. Meskipun tidak terlihat oleh orang lain, bagi mereka yang mengalami gangguan ini, kekurangan tersebut menjadi pusat perhatian, sehingga membuat mereka merasa terjebak dalam kecemasan dan ketidakpuasan.
Gejala dari BDD adalah penderita memiliki pikiran negatif yang biasanya timbul karena penderita menganggap bentuk anggota tubuhnya tidak ideal. Anggota tubuh yang sering dicemaskan penderita antara lain seperti wajah, misal karena bentuk hidung terlalu pesek, struktur wajah yang tidak simetris atau proporsi tubuh yang tidak ideal baik itu kelebihan maupun kekurangan berat badan (Kemenkes, 2023).Â
Akibat dari pandangan negatif mengenai bentuk tubuhnya tersebut biasanya penderita bdd ini melakukan hal-hal ekstrim untuk mengatasi permasalahannya tersebut seperti berolahraga dalam jangka waktu yang lama, mengkonsumsi suplemen gizi berlebihan serta penyalahgunaan steroid. Dari sini dapat kita lihat bahwa penderita BDDini dapat menghalalkan segala cara untuk membuat tubuhnya sendiri memenuhi standar tubuh yang mereka inginkan.
Faktor dan penyebab seseorang mengalami BDD ini sendiri adalah faktor genetik/biologis, terdiri dari gen, evolusi, selektif dan detail, serta serotonin dan neurotransmitter; Â faktor psikologis yang terdiri dari pengalaman hidup, ejekan, penganiayaan, nilai dan sifat kepribadian, estetika, peristiwa, serta sosial budaya (Pardede, 2021). Prevalensi BDD di dunia, menurut data dari International OCD Foundation dan beberapa jurnal adalah 1,7-2,9% dari populasi, atau sekitar 1 dari setiap 50 orang. Penelitian lain menunjukkan bahwa prevalensi BDD di beberapa negara adalah sekitar 0,7-2,4%. Menurut penelitian yang ada juga, prevalensi BDD lebih tinggi daripada gangguan mental lainnya seperti gangguan obsesif-kompulsif (OCD), skizofrenia, dan anoreksia nervosa (Song & Mahaputra, 2022).
Dari penjelasan mengenai body dysmorphic disorder dan media sosial diatas dapat kita garis besarkan bahwa penggunaan media sosial sangat erat kaitannya dengan peningkatan body dysmorphic disorder (BDD), terutama karena platform ini sering digunakan sebagai tempat untuk membandingkan penampilan fisik. Banyak pengguna yang menampilkan versi diri mereka yang telah diubah melalui filter dan pengeditan, menciptakan standar kecantikan yang sangat sulit, bahkan tidak mungkin, untuk dicapai.Â
Ketika seseorang terus-menerus melihat gambaran ideal ini, mereka dapat mulai meragukan penampilan mereka sendiri, yang pada akhirnya mengarah pada ketidakpuasan dan pandangan negatif terhadap tubuh mereka. Hal ini dapat menyebabkan kecemasan yang berlebihan mengenai penampilan dan memicu BDD. Selain itu, media sosial juga mendorong untuk mencari pengakuan melalui jumlah "like" dan komentar yang seringkali berfokus pada aspek fisik.Â
Ketika seseorang tidak mendapatkan respon yang diharapkan atau terus-menerus membandingkan dirinya dengan orang lain, mereka dapat mulai melihat kekurangan yang sebenarnya kecil atau bahkan tidak ada. Perasaan seperti diawasi dan dihakimi oleh orang lain ini dapat memperburuk pandangan negatif terhadap diri sendiri, sehingga memicu pola pikir obsesif yang merupakan salah satu ciri-ciri gangguan dismorfik tubuh atau body dysmorphic disorder.