Konflik Indonesia dan Belanda dalam memperebutkan Irian Barat belum menemui titik terang pasca perundingan KMB yang digelar pada tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949. Hasil KMB hanya menyatakan permasalahan Irian Barat akan diselesaikan hingga perundingan berikutnya setahun setelah kedaulatan RIS. Konflik ini berhasil menjadi isu internasional yang diperbincangkan di PBB dengan melibatkan beberapa negara di dunia yang ingin membantu menyelesaikan konflik termasuk Amerika Serikat.Â
AS menjadi salah satu negara yang cukup serius dalam menginginkan proses penyelesaian konflik Irian Barat antara Indonesia dan Belanda. Hal tersebut terealisasikan dalam perundingan yang dikenal dengan Perjanjian New York yang resmi ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 1962. Amerika Serikat menawarkan diri menjadi pihak netral diwakili oleh Ellsworth Bunker yang merupakan Diplomat AS, sedangkan delegasi Indonesia diwakili oleh Adam Malik dan Belanda diwakili oleh Jan Herman van Roijen.Â
Isi dari perjanjian New York Â
- Belanda harus menyerahnya Irian Barat selambat – lambatnya pada 1 Oktober 1962 kepada UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority)
- Belanda harus menarik pasukan tentaranya dari Irian Barat secara bertahap
- Mulai 31 Desember 1962 bendera Indonesia akan berkibar di Irian Barat disamping bendera PBB
- Pemerintah sementara yang dibentuk PBB baik militer maupun sipil akan menggunakan tenaga kerja orang Indonesia
- UNTEA akan menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia selambat – lambatnya 1 Mei 1963.
Kepentingan Amerika Serikat
Namun yang menarik di sini adalah bagaimana Amerika Serikat seakan memiliki maksud lain dalam keterlibatannya pada konflik Irian Barat. AS merupakan tipe negara yang tidak akan pernah mencampuri urusan negara lain kecuali negara tersebut menguntungkan baginya.Â
Hal menguntungkan yang dimaksud disini antara lain, AS menginginkan jalinan hubungan yang lebih dekat dengan Indonesia agar Indonesia tak terlalu bergantung pada Uni Soviet serta guna membendung pengaruh komunis di Asia. AS melihat bagaimana Uni Soviet banyak memberikan bantuan kepada Indonesia. Seperti pada tahun 1960 misalnya, Uni Soviet memberikan bantuan kredit kepada Indonesia senilai hingga 250 juta Dolar AS dan setahun setelahnya Indonesia juga mendapat pinjaman dari Uni Soviet senilai 450 juta Dolar AS termasuk untuk persenjataan militer. Presiden Soekarno juga dikenal memiliki hubungan yang dekat dengan pemimpin Uni Soviet yakni Nikita Khrushchev, sehingga hal tersebut merupakan ancaman bagi AS karena AS menganggap bantuan yang diberikan oleh Uni Soviet tersebut merupakan strategi untuk melancarkan pengaruh komunisme di Asia.
Tak hanya itu, AS juga melihat potensi sumber daya alam yang ada di Papua khususnya pertambangan seperti emas, tembaga, dan minyak. Sehingga memberi dukungan kepada Indonesia bukanlah suatu kerugian. Maka tak heran jika AS rela mengubah strategi politiknya yang awal mulanya berpihak pada Belanda. Amerika Serikat juga terus memberikan bantuan fasilitas dalam membantu masalah pembebasan Irian Barat baik bantuan alat – alat militer maupun bantuan militer secara langsung.
Pada akhirnya melalui UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority), pada tanggal 1 Mei 1963 Irian Barat resmi menjadi bagian dari kedaulatan NKRI dan dilanjutkan dengan dilaksanakannya PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) pada tahun 1969, dimana rakyat Papua Barat diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya sendiri dengan memilih untuk tetap bersama NKRI atau ingin memisahkan diri. Dan hasilnya sebagian besar rakyat Papua menyatakan ingin bergabung bersama kedaulatan NKRI. Bagaimanapun dengan melibatkan diri dalam urusan konflik Irian Barat, AS telah berhasil mendapatkan keuntungan besar dalam melakukan strategi politiknya baik membendung pengaruh komunis di Indonesia serta menguasai Sumber Daya Alam di Papua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H