Mohon tunggu...
Amelia
Amelia Mohon Tunggu... Tutor - Menulis Dengan Tujuan

Penulis amatir , mencari inspirasi dan terinspirasi

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Mengalah dalam Kehidupan Pernikahan Bukan Berarti "Makan Ati"

12 Agustus 2023   15:57 Diperbarui: 12 Agustus 2023   16:05 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mahligai pernikahan ternyata tidak selalu berakhir indah bagaikan kalimat penutup di akhir cerita ; " akhir nya si Fulan menikah dengan cinta sejati nya dan hidup bahagia". Ini baru saya rasakan setelah umur pernikahan kami jalan ke tahun 10. 

Saya anak pertama menikah dengan anak bungsu. Buat saya tidak jadi masalah. Apalagi sebelum menikah, saya tidak mempelajari secara mendalam seperti apa psikologi kehidupan pernikahan. 

Berbekal sebuah buku agama panduan lengkap menikah dan mengikuti beberapa kajian mengenai kehidupan pernikahan di beberapa pengajian khusus muslimah dan umum. 

Saya rasa cukup lengkap setelah bekal membaca buku tersebut di tambah petuah - petuah bijak yang saya peroleh dari orang tua. Nasehat orang tua sebelum menikah sangat aktual dan valid karena sudah terbukti. Namun, praktek nya ternyata tidak mudah. Menikah menyatukan 2 pribadi yang berbeda. 

Saya sebagai si anak pertama yang tidak senang jika harus selalu mengalah. Ketika menikah, justru harus belajar mengalah dan nurut kepada suami. "Wah, kok bukan gw banget", hehe.. Lucu nya, dari kehidupan pernikahan ini pelan - pelan saya belajar mengalah, lebih tone down, lapang dada, sabar, dan ikhlas. Hal yang tidak saya pelajari di kehidupan sekolah.

Ikhlas ternyata dahsyat dan berat. Sebuah sikap nerimo dengan lapang dada bagaimana keadaan pasangan kita dan mempertahankan sebuah hubungan jangka panjang. 

Terkadang ada beberapa moment di mana kita tidak sepaham dengan pasangan. Sebagai seorang istri dalam pandangan agama 'harus' mengalah dan menerima. Konsep harus mengalah bagi saya si anak pertama sulit di terima. "Kenapa harus ngalah?" Bahkan nasihat agama yang saya baca bagaikan mental begitu saja. 

Ternyata benar ya, "practice makes perfect". Teori yang di baca nggak akan terbukti jika tidak di praktekan. Bersyukur suami saya adalah anak terakhir, si paling diam dan sabar.

Dalam sebuah hubungan, untuk membahagiakan satu sama lain, harus seimbang. Kenapa saya bisa bilang begini? Di awal tahun pernikahan, kehidupan masih di bawah kontrol saya. Maklum sindrom anak pertama.

 Setelah tahun pertama di lewati dengan kehadiran seorang anak. Masih syok. Baru adaptasi dengan kehidupan pernikahan. Ternyata perhatian saya terbagi lagi dengan kehadiran anak di tengah kebahagiaan kami. Barulah saya pahami, bahwa sebagai seorang ibu dan istri , perlu menciptakan keseimbangan alam semesta pernikahan, ialah dengan mengalah. Untuk kebaikan bersama. Ketika sudah ada anak, fokus menjadi terbelah. Antara pasangan dan anak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun