Wilayah Natuna memiliki nilai strategis dari perspektif ekonomi, politik dan militer. Hal ini sangat wajar karena Natuna secara geografis masuk ke dalam wilayah perbatasan Laut Cina yang merupakan wilayah dengan berbagai kepentingan dan beragam potensi sumber daya alam, termasuk cadangan gas alam dan perikanan, yang menjadikannya penting bagi perekonomian negara-negara sekitarnya.
Kawasan Laut Natuna Utara merupakan area strategis yang memiliki kepentingan besar dalam konteks keamanan maritim ASEAN. Terletak di jalur pelayaran internasional yang menghubungkan Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, Laut Natuna berfungsi sebagai pintu gerbang perdagangan dengan negara ASEAN seperti Vietnam, Kamboja, Malaysia, dan Singapura.
Jika dilihat dari letak geografisnya, wilayah kepulauan Natuna merupakan kabupaten terluar dalam wilayah Indonesia yang secara administratif masuk ke dalam wilayah provinsi Riau. Namun, Laut Natuna juga menjadi pusat persaingan geopolitik yang semakin intens antara negara-negara besar seperti Cina dan Amerika Serikat, yang memiliki kepentingan strategis dan ekonomi di wilayah ini.
Hal ini menyebabkan wilayah Natuna menjadi rawan dimasuki oleh kapal asing yang melakukan kegiatan illegal fishing selain itu juga dapat menimbulkan konflik terkait dengan batas maritim di kawasan perairan Natuna yang merupakan bagian dari Laut Cina Selatan. Situasi ini diperparah oleh klaim China di bawah nine dash line yang kontroversial, yang bertentangan dengan hak-hak Indonesia sebagaimana ditetapkan oleh hukum internasional, khususnya United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.
Sehubungan dengan klaim nine dash line China terhadap Laut China Selatan, dampaknya China sering melakukan pelanggaran terhadap batas ZEE yang sudah diatur oleh UNCLOS 1982 dimana kapal-kapal dari negara China seringkali masuk ke wilayah perairan Indonesia terutama Natuna untuk melakukan illegal fishing. Bahkan tak jarang Coast Guard China atau kapal penjaga pantai China beberapa kali mengawal kapal-kapal nelayan China untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah ZEE Indonesia.
Tidak hanya kapal kapal dari China, kapal dari negara Vietnam juga seringkali terlihat di perairan Natuna. Tercatat pada tahun 2023 lalu, Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla), menangkap sebuah kapal ikan yang memiliki indentitas bendera Vietnam sedang melakukan aktivitas penangkapan ikan secara illegal di perairan Natuna Utara.
Total terdapat 17 anak buah kapal yang menjadi tersangka dalam kasus ini. Tersangka tersebut ditetapkan melanggar Pasal 92 jo Pasal 26 ayat (1) bagian keempat Undang-undang RI nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja jo Pasal 5 ayat (1) huruf B jo Pasal 102 Undang-undang RI nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan dan/atau Pasal 85 jo Pasal 9 ayat (1) jo Pasal 5 ayat (1) huruf B jo Pasal 102 Undang-undang RI nomor 31 Tahun 2004 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Berdasarkan pasal tersebut, maka tersangka dapat dijatuhi hukuman paling lama hingga delapan tahun hukum penjara atau denda paling banyak sebesar Rp1,5 miliar. Hal tersebut telah disebutkan  dalam Pasal 92 Undang-undang Cipta Kerja.
Banyaknya kejadian mengenai illegal fishing ini menunjukan perlu adanya program untuk dapat mengurangi tingkat kejahatan di sektor maritim ini. Oleh karena itu, ASEAN sebagai organisasi regional menerapkan kerja sama Maritime Domain Awareness (MDA) untuk mengatasi IUU fishing tersebut dan melakukan berbagai upaya untuk menjaga keamanan dan stabilitas regional.
Dalam upaya untuk mengatasi IUU fishing di Natuna oleh China ASEAN telah melakukan berbagai kerangka kerja sama untuk membangun MDA dalam mengatasi kasus tersebut. ASEAN merespon melalui berbagai inisiatif kerja sama seperti ASEAN Maritime Forum (AMF), ASEAN-China Maritime Cooperation, dan ASEAN Political-Security Community (APSC).
Inisiatif ini bertujuan untuk meningkatkan pengawasan, penegakan hukum, dan kesadaran maritim melalui pertukaran informasi, patroli terkoordinasi, serta penyelarasan kebijakan. Untuk mengoptimalkan MDA, ASEAN melakukan beberapa strategi meliputi meningkatkan promosi langkah-langkah Port State, memperkuat MCS dan jaringan MCS regional, mempromosikan "ASEAN Guidelines for Preventing the Entry of Fish and Fishery Products from IUU Fishing Activities into the Supply Chain" di kawasan Asia Tenggara, dan menerapkan teknologi untuk melacak aktivitas kapal penangkap ikan.