Mohon tunggu...
Amelia Meidyawati
Amelia Meidyawati Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswi Magister Akuntansi Dosen Prof. Dr. Apollo M.Si.Ak. NIM 55520120009 AMELIA MEIDYAWATI Universitas Mercubuana Jakarta

Penggemar Perpajakan yang selalu antusias menyelami ilmu baru... Mahasiswi Magister Akuntansi Dosen Prof. Dr. Apollo M.Si.Ak. NIM 55520120009 AMELIA MEIDYAWATI Universitas Mercubuana Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Komentar Jurnal Martin Hearson "When Do Developing Countries Negotiate Away Their Corporate Tax Base?"

3 April 2022   21:35 Diperbarui: 3 April 2022   21:37 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dari perspektif Indonesia sebagai negara berkembang, tujuan dari distribusi hak pajak yang adil harus dikritik. Hal ini dikarenakan baik model OECD maupun standar international tax treaty model UN/UN masih merupakan model tax treaty yang mendukung negara domisili (taxation on the country of residence). Model PBB memiliki sedikit dukungan untuk negara sumber, tetapi tetap merupakan model perjanjian pajak berdasarkan negaranya sendiri karena masih merupakan model perjanjian pajak yang dibangun menurut model OECD.

Lain halnya jika perjanjian pengenaan pajak berganda antara negara pengekspor modal dengan negara pengimpor modal (negara berkembang). Di bawah perjanjian pajak, negara-negara pengimpor modal bertindak sebagai lebih banyak sumber, sehingga kehilangan lebih banyak hak perpajakan daripada negara-negara pengekspor modal mereka, Patner. Jika kita lihat, kita dapat menyimpulkan bahwa satu-satunya alasan logis untuk membuat perjanjian pajak di negara berkembang adalah untuk menarik investasi asing langsung (FDI).

Jika kita berselancar di dunia maya, Ada banyak studi empiris dalam literatur pajak yang berusaha untuk membuktikan hubungan positif antara perjanjian pajak dan jumlah investasi asing langsung yang memasuki suatu negara (Barthel, Busse, Krever, Neumayer, 2010). Namun, tidak ada konsensus di antara para profesional pajak ini dalam hal ini. Ada juga masalah praktik pembelian kontrak yang dapat mengalihkan sumber investasi asing langsung dari satu negara ke negara lain, yang mengarah pada penilaian yang berlebihan'

Namun demikian, Konvensi Perpajakan Berganda merupakan sinyal bagi negara lain bahwa negara-negara pelaksana Konvensi Perpajakan Berganda siap untuk memenuhi standar internasional dan menyambut baik masuknya penanaman modal asing langsung. Padahal, fungsi signaling ini dapat dicapai melalui metode lain bilateral investment treaty (BIT) yang khusus ditujukan untuk FDI.

Pada dasarnya, ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi penanaman modal asing langsung. Salah satunya adalah apakah ada perjanjian pajak. Namun, ada tidaknya tax treaty tidak serta merta menjadi faktor utama yang mempengaruhi FDI. Namun kita perlu mengingat ada hal yang Jauh lebih penting dari FDI ataupun Tax Treaty yaitu faktor keamanan hukum yang masih belum mumpuni di Indonesia.

Faktor keamanan dan kekuatan hukum pajak internasional masih kalah jauh jika dibandingkan dengan negara tetangga. Program Tax Amnesty dan yang terbaru adalah PPS adalah bukti bahwa masyarakat Indonesia sebetulnya belum memahami "Goresan" Hukum Pajak Internasional yang berlaku di indonesia. Atau mungkin saja masyarakat tidak percaya akan kekuatan hukum yang berlaku atas pajak internasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun