Aku ...
Yang terlupakan namun tak pernah tergantikan.
Yang terluka, namun tetap setia.
Yang selalu iri, namun tetap menunggunya di sini.
Yang membenci, namun tetap menanti.
Yang tak terlihat, namun selalu melihat.
Aku, bagian dari hidupnya.
Saksi perjalanannya.
Obat pelipur lara di kala ia berduka.
Tapi bukan yang pertama apalagi yang tercinta.
Namun, apapun tanggapannya tentang diriku.
Aku tetaplah sama, yang setia dan selalu merinduakan semua hal yang pernah kami lalui bersama.
***
Detik demi detik berlalu, berputar seiring berjalannya waktu dan jarum jam tak henti mengitari tempat yang sama dalam setiap harinya. Sama halnya dengan diriku. Ya, aku-yang terlupakan tetapi tak pernah tergantikan. Akan selalu terpatri dalam hati sang pemilik dan pencipta diriku dalam alunan nada atau diamku penuh makna.
Semua rasaku tentangnya berawal dari seorang pria. Dia merelakanku pergi dengan suka rela kepadanya―temanku, keluarga baruku―untuk menemaninya dalam suka dan duka.
Raut wajah ragu bercampur pilu terlihat jelas pada paras sendu miliknya. Matanya melirik ke sana kemari memerhatikan teman-temanku yang berdiri tegap, gagah seperti biasanya. Mereka terlihat istimewa dibandingkan dengan diriku yang biasa. Tempat aku berada pun berbeda. Hanya satu dari sepuluh angka kemungkinan peluang yang aku dapatkan untuk dilirik olehnya. Ya, sama seperti waktu-waktu sebelumnya. Hanya lirikan yang aku dapatkan, tak pernah tersentuh apalagi dengan sebuah penawaran.
Rasanya aku tercipta dengan segudang ketidaksempurnaan, tidak seperti mereka. Bahkan sekadar disentuh saja tak layak, bagaimana aku bisa menjadi pemuas sempurna jika tak ada yang tertarik padaku? Terkadang aku berpikir sang pencipta tak adil, dia menciptakan diriku apa adanya tanpa ciri khas seperti lainnya. Dan begitupun saat ini, saat dimana aku merasa putus asa. Namun, rasa putus asaku tak berlangsung lama. Teman di sampingku berkata, "Jangan bersedih, kawan. Kurasa dia akan memilihmu. Dan kuatkan dirimu, karena akan berpisah denganku yang jauh berkelas serta berkualitas dibanding dirimu."
Kata-katanya tetaplah sama, dia adalah temanku yang baru bergabung bersama kami. Namun, dia jauh lebih berkelas, dan tentunya agak sedikit sombong.
Dan aku, tetaplah sama. Menjalani takdirku, apa adanya seperti sang tuan yang menciptakanku. Hanya bisa menunggu sang tuan baru atau teman yang bisa melihatku dengan kalbu. Bukan sekadar memandang dengan sebelah mata atau harga.
Diam dan tetap memasang senyum semenarik mungkin agar terpancar aura yang membuat siapapun tertarik padaku. Ya, hanya itu yang bisa aku lakukan sekarang. Sembari berdo'a dalam hati agar pria yang bersama gadis itu melirik ke arahku.