Mohon tunggu...
Amelia Julianti Latif
Amelia Julianti Latif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Pendidikan Indonesia

Lahir di Cianjur, senang menekuni bidang seni dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Enola Holmes: antara Patriarki dan Feminisme di Era Victoria

20 Juni 2024   21:19 Diperbarui: 20 Juni 2024   21:43 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

“Aku menggunakan nama pria karena di era ini, seorang ilmuan baru diakui bila ia adalah seorang pria.” (Enola Holmes 2, hlm. 7)

Dulu perempuan, sebelum dan di awal adanya gerakan feminisme, dapat dikatakan cukup tertindas. Gerakan feminisme ini berangkat dari adanya pandangan patriarkis mengenai posisi subordinat perempuan karena dianggap sebagai makhluk yang lemah, emosional dan tidak rasional sekitar tahun 1550-1700 di Inggris (Hodgson-Wright dalam Ni Komang, 2013: 199). Sejak saat itulah terus muncul gerakan-gerakan feminisme lain misalnya menuntut hak perempuan untuk sekolah dan setara dengan laki-laki, hak perempuan setelah menikah, hak asuh anak setelah perceraian, dan sebagainya.

Begitu pun dalam novel An Enola Holmes Mystery: The Case of the Left-Handed Lady seri kedua yang ditulis oleh Nancy Springer ini di dalamnya erat sekali dengan isu patriarki dan feminisme dengan latar tahun 1889, tepatnya di era Victoria, Inggris. Di novel ini, Nancy Springer menggambarkan sosok Enola Holmes berbeda dari wanita lainnya pada zaman itu. Adik dari Mycroft dan Sherlock Holmes itu menolak keras memakai korset, bahkan cara berpakaiannya seperti laki-laki dengan memakai celana dan rompi. Sedangkan standar berpakaian wanita di era tersebut, tak lekang dari gaun dengan korset panjang nan ketat, sarung tangan, topi, serta rok bertumpuk. Kedua kakaknya menentang cara berpikir dan cara berpakaiannya itu. Hal ini membuat saya tertarik, ketika Enola merepresentasikan sebuah “feminisme” dengan mendambakan kebebasan. Lantas kedua kakaknya dapat dikatakan begitu “patriarki”.

Kaburnya Enola Holmes 

“Alasanku kabur dari Mycroft dan Sherlock adalah untuk menghindari korset gila seperti itu. Aku melarikan diri agar tidak didaftarkan ke sekolah asrama yang mewajibkanku menggunakan korset yang dapat membelah badanku menjadi dua dari pinggangku.” (Enola Holmes 2, hlm. 44)

Kepribadian Enola yang selama ini tinggal, dan dibesarkan oleh ibunya yang seorang suffragist atau  pejuang hak suara perempuan itu membuatnya lebih bebas. Ia menolak menggunakan korset. Ketika saat itu standar kecantikan wanita adalah mengenakan korset yang membentuk lengkungan  pinggang hingga ramping, sehingga tampak anggun dan elegan. Eudoria—Ibu Enola—memberikan nama Enola pada putrinya bukan tanpa alasan. Melainkan ada arti tersendiri, yaitu ketika dibalik akan menjadi alone yang berarti ‘sendiri’. Eudoria yakin bila anak perempuannya itu bisa melakukan segalanya sendiri, tanpa terkekang siapapun, termasuk kedua kakak laki-lakinya. Tampak pada beberapa adegan ketika Enola merasa hampir putus asa, ia kembali teringat pada ucapan ibunya yang menekankan bahwa ia bisa melakukannya sendiri.

 “Tidak masuk akal! Anak itu perempuan. Otaknya tidak sepintar kita. Dia merepotkan dan selalu butuh perlindungan.” (Enola Holmes 2, hlm. 4)

Begitulah pandangan Mycroft terhadap Enola. Padahal Enola pintar, ia bisa dikatakan seorang detektif dan setara dengan Sherlock—yang notabenya seorang detektif—ketika ia berhasil memecahkan kasus hilangnya sang marquess di buku pertama. Adapun menurut Selden (1996:139) bahwa jika dipandang dari sudut sosial, feminisme muncul dari rasa ketidakpuasan terhadap sistem “patriarki atau penindasan pada perempuan”. Di sini, Enola merasa kebebasannya sebagai perempuan mulai terkekang ketika kedua kakaknya hadir. Sehingga gadis itu memberontak dengan cara kabur dalam penyamaran.

Dr. Watson tersenyum setelah mendengar ejekanku. “Kurang lebih. Dia ingin wanita memiliki kebebasan untuk memakai pakaian yang mereka mau.” (Enola Holmes 2, hlm. 18)

Setiap individu bukankah seharusnya berhak atas dirinya sendiri? Sekalipun itu perempuan? Saya rasa iya. Setiap individu pun berhak menentukan masa depannya sendiri. Berdasarkan motif mengenai bagaimana tokoh Enola itu digambarkan dengan “kebebasan”, begitu pun sosok Eudoria sebagai suffragist, penulis berupaya menyuarakan feminisme liberal di tengah stereotip dan patriarki di era tersebut. Sejalan dengan pernyataan Tong (2006:18), bahwa tujuan umum dari feminisme liberal adalah untuk menciptakan “masyarakat yang adil dan peduli tempat kebebasan berkembang”. Sayangnya, kebebasan itu terhalang oleh patriarki dan stereotip di masyarakat. Sehingga Enola merasa terkekang ketika Mycroft dan Sherlock bersikukuh ingin memasukkannya ke sekolah kepribadian perempuan karena dianggap terlalu barbar untuk dikatakan seorang wanita, yang standarnya haruslah anggun.

Enola berhasil kabur dan menyamarkan dirinya sebagai Miss Meshle. Seperti kutipan di paling atas yang menyatakan bahwa seorang ilmuan baru diakui apabila ia adalah seorang pria, begitulah yang dilakukan Enola. Ia mendirikan sebuah jasa detektif dengan mengatasnamakan Dr. Ragostin. Hal ini mengingatkan saya kepada penulis novel Little Women, yaitu Louisa May Alcott yang mencantumkan nama pena A.M. Barnard pada beberapa novelnya sekitar tahun 1860-an. Ia menggunakan nama pena laki-laki dalam upayanya menyampaikan pesan feminisme, karena dunia saat itu adalah dunia laki-laki. Dapat dikatakan bahwa kesuksesan perempuan melalui tulisan atau karyanya, bagi kaum laki-laki merupakan bentuk hinaan terhadap posisinya sebagai “penguasa” perempuan (Fadli, 2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun