Mohon tunggu...
Amelia Fadhilah Habsarina
Amelia Fadhilah Habsarina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Fakultas Humaniora dan Bisnis Program studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengatasi Kesenjangan Gender dalam Pendidikan dengan Melawan Persepsi Patriarki

13 Oktober 2024   16:26 Diperbarui: 13 Oktober 2024   16:38 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendidikan merupakan hak dasar bagi setiap individu terlepas dari jenis kelamin, latar belakang, atau ekonomi. Namun masyarakat masih dipengaruhi oleh pandangan patriarki, kesenjangan gender dalam akses dan kualitas pendidikan masih menjadi masalah yang sangat serius.  Meskipun dunia yang modern telah membuka banyak peluang bagi para perempuan, norma – norma patriarki masih bertahan di banyak tempat. Persepsi ini membatasi perempuan dari potensi yang mereka miliki.

Beberapa aturan dan kebiasaan patriarki menganggap bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi, karena mereka pada akhirnya akan menjalani hidup dengan mengurus rumah dan keluarga. Dalam beberapa kasus, banyak keluarga lebih mementingkan pendidikan anak laki-laki karena mereka diharapkan menjadi tulang punggung keluarga. Sementara anak perempuan disiapkan untuk bisa menikah di usianya yang masih muda, dengan pendidikan sebatas menengah dianggap cukup untuk peran mereka nantinya.

Menurut P.Todaro (2003) hampir di setiap negara berkembang termasuk Indonesia anak perempuan menerima pendidikan yang jauh lebih sedikit dibandingkan anak laki-laki.

Badan Pusat Statistika (BPS) merilis indeks ketimpangan gender pada tahun 2022 (0,648) indeks ini mengalami penurunan dari tahun 2021 (0,563). Madiana sebagai ketua Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (PUSPA) menjelaskan bahwa budaya patriarki di Nusa Tenggara Barat masih cukup kental dan perempuan masih dianggap dibawah laki – laki.

Data dari BPS menunjukkan bahwa angka pernikahan anak di Nusa Tenggara Barat termasuk yang tertinggi di Indonesia. Hal ini memperkuat stigma bahwa perempuan tidak memerlukan pendidikan tinggi karena pada akhirnya mereka akan berperan sebagai ibu rumah tangga.

Tidak hanya itu, di media sosial sering sekali muncul perdebatan tentang "kodrat perempuan" banyak orang beragumen bahwa perempuan yang terlalu mengejar karir atau pendidikan tinggi akan sulit dalam menjalankan rumah tangga mereka. Bahkan, tidak sedikit yang beranggapan bahwa perempuan yang berpendidikan tinggi sulit untuk ke jenjang serius. Hal ini yang memperkuat stigma norma patriarki, terlihat dalam dunia kerja perempuan yang lebih mementingkan karir dan pendidikan, sering sekali menghadapi diskriminasi atau dianggap kurang "feminim" jika mereka memilih untuk fokus kepada karir daripada keluarga.

Namun, perempuan sudah mulai bangkit melawan persepsi tersebut, salah satu contoh sosok yang sangat menginspiratif bagi perempuan ialah Maudy Ayunda contoh nyata yang dapat mematahkan stigma bahwa perempuan hanya layak mendapatkan pendidikan seadanya. 

Keberhasilannya dalam hal akademis dan karier tidak membuatnya kesulitan dalam menjalani hal yang serius. Justru itu yang membangun kepercayaan diri dan rasa mandiri yang kuat untuk mengambil keputusan yang matang dalam hidupnya, termasuk dalam hubungan.

Cara melawan dan mengatasi persepsi patriarki dengan:

  • Mengubah pola pikir melalui edukasi masyarakat dilakukan dengan melalui kampanye sosial, sosialisasi disekolah – sekolah yang memperkenalkan pentingnya kesetaraan gander.
  • Perlu ada dorongan melalui media dan budaya popular yang menggambarkan perempuan sebagai individu yang mandiri, cerdas, dan mampu mencapai pendidikan tinggi. Seperti film, acara televisi, dan konten digital.
  • Perlunya dorongan dari peran keluarga untuk memberi dukungan penuh bagi anak perempuan mereka dalam mengejar pendidikan.

Mengatasi persepsi ini berarti kita memberikan kebebasan bagi perempuan untuk memilih peran yang mereka inginkan termasuk mendapatkan pendidikan setinggi mungkin dan membuka jalan untuk menuju kesetaraan yang sejati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun