Kejora, wanita yang tiap hari bangun pagi melihat  padi yang melambai di sawah sebelah rumah. Setiap hari, diiringi aroma tanah basah dan suara alat tani, dia jadi saksi hidup orang-orang yang berjuang bikin kita bisa makan nasi tiap hari. Tapi, ada satu pertanyaan yang terus menggantung di benaknya (dan mungkin juga benak kita). Apa iya masa depan kita bakal aman cuma dengan bergantung sama nasi doang?
Indonesia memang terkenal dengan sawah membentang yang membuat kita bisa makan nasi sampai puas. Tapi di balik itu, ada pertanyaan besar soal keanekaragaman pangan. Jujur aja, kita itu kayak relationship toxic sama nasi. Padahal ada banyak sekali sumber pangan lain yang bisa memenuhi kebutuhan gizi kita. Apa kita lupa sama singkong, jagung, ubi, atau sagu yang tidakk kalah penting? Mereka ini bagaikan mantan yang sudah lama terlupakan, padahal sebenarnya punya potensi besar buat jadi sumber pangan utama.
Indonesia ini kaya akan sumber daya alam, tapi sayangnya sering sekali terkena bencana banjir, kekeringan, sampai tanah longsor. Jadi, seberapa aman sih sebenarnya ketahanan pangan kita? Pangan kita emang berlimpah di daerah tertentu, tapi belum tentu bisa sampai dengan lancar ke seluruh kota. Apalagi kalau jalur distribusinya terganggu. Ditambah lagi, ancaman perubahan iklim buat pola tanam tidakk menentu, yang artinya risiko gagal panen makin besar. Jadi, kalau kita terus bergantung pada padi dan belum mempersiapkan cadangan pangan lain, ada kemungkinan suatu saat nanti kita bakal kehabisan bahan pokok di pasaran. Terus, gimana dong kalau tiba-tiba pasokan beras jadi langka? Bayangkan harga nasi naik drastis. Apa kita siap beralih ke makanan lain? Hmm, tampaknya belum semua siap.Â
Terkadang, kita buru buru senang kalau perut kenyang tanpa mikirin kualitas gizinya. Meskipun nasi adalah sumber karbohidrat yang baik, kita butuh lebih dari itu agar hidup sehat. Orang bilang, "Kamu adalah apa yang kamu makan." Jadi, kalau kita cuma makan nasi doang, apa yang terjadi? Tubuh kita mungkin kenyang, tapi kebutuhan protein, serat, vitamin, dan mineral tidak  terpenuhi  membuat tubuh kita rentan terhadap penyakit seperti obesitas, diabetes, dan stunting pada anak. Stunting, guys, adalah masalah yang serius. Menurut data, sekitar 30% anak-anak di Indonesia mengalami stunting, yang berarti tumbuh kembang mereka tidak optimal. Padahal, Indonesia punya beragam sumber pangan lain seperti singkong, ubi, jagung, dan sagu yang kaya akan nutrisi. Mereka bisa jadi penyelamat di kala beras langka atau harga naik. Tapi, singkong dan teman-temannya seolah terlupakan, terpinggirkan, hanya menjadi cerita masa lalu.
Indonesia adalah negara  agraris yang subur. Berkat sawahnya, kita tidak pernah kekurangan beras. Tapi jangan buru-buru tenang. Mari kita ulik fakta-fakta menarik (dan mungkin mengkhawatirkan) soal ketahanan dan keanekaragaman pangan di negeri ini. Sejak kecil, Kejora selalu diajari bahwa nasi itu sumber utama kehidupan. "Nggak makan nasi, belum makan namanya!" kata ibunya. Ini bukan mitos, lho, tapi realita di hampir setiap rumah di Indonesia. Faktanya, 95% penduduk Indonesia menjadikan nasi sebagai makanan pokok, dan sekitar 25% dari kalori harian kita berasal dari nasi. Saking pentingnya, banyak orang tidak  akan merasa kenyang sebelum makan nasi, meskipun udah nyemil atau makan makanan lain seharian.Â
Nahh makanya program "Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia" cocok banget nihh buat kita. Bahkan program ini bukan cuma mengedukasi tapi juga memberikan agar ketahanan dan keanekaragaman kita makin kuta. Selain itu ada beberapa hal yang bisa kita lakuin, pertama, kita harus mulai memanfaatkan lebih banyak jenis pangan lokal. Singkong, jagung, umbi-umbian, sayur-sayuran lokal semuanya punya nilai gizi tinggi dan bisa jadi alternatif kalau harga beras melambung tinggi. Kedua, edukasi soal pola makan yang bergizi dan beragam perlu ditingkatkan. Kalau kita mulai aware untuk makan beragam jenis makanan, maka permintaan terhadap berbagai komoditas pangan lokal juga bakal meningkat. Ini tidak cuma baik buat kesehatan kita, tapi juga mendukung petani lokal supaya tidak melulu fokus ke satu jenis tanaman. Ketiga, dukungan pemerintah penting banget untuk menyediakan infrastruktur dan kebijakan yang memadai. Kalau jalur distribusi pangan makin baik, daerah-daerah yang rawan kekurangan pangan juga bisa merasakan keuntungannya.
Jadi, masa depan ketahanan pangan Indonesia tergantung dari cara kita menjaga keanekaragaman pangan sejak sekarang. Bukan cuma ngandelin satu jenis pangan doang, tapi juga mulai mencintai dan memanfaatkan potensi pangan yang selama ini belum kita sadari. Kalau kata Kejora, "Nasi itu penting, tapi variasi makanan lebih penting!" Kejora berpikir, kalau semua orang mau menghargai keanekaragaman pangan dan tidak cuma bergantung pada nasi, masa depan pangan Indonesia akan lebih aman dan kaya. Bayangkan kita punya berbagai jenis makanan yang sehat, enak, dan bergizi. Bukan cuma bikin kenyang, tapi juga bikin tubuh sehat, kuat, dan tahan dari penyakit. Selain itu, pemanfaatan pangan lokal juga membantu mengurangi ketergantungan impor pangan, yang seringkali rentan terhadap harga global. Indonesia memiliki potensi yang besar dalam memenuhi kebutuhan pangannya, asal kita mau mengeksplorasi dan memanfaatkan sumber daya alam dengan bijak.
Kejora yakin, perubahan pola makan harus dimulai dari keluarga dan pendidikan sejak dini. Sekolah dan komunitas memiliki peran besar untuk mengenalkan keanekaragaman pangan ini. Ketika anak-anak sudah terbiasa mengonsumsi pangan lokal yang bervariasi, mereka tumbuh dengan pola pikir menghargai hasil bumi negeri sendiri. Mari kita mulai perubahan kecil ini dari meja makan, dari pilihan bahan pangan di dapur kita. Cintai pangan lokal, dan bersama-sama wujudkan masa depan ketahanan pangan Indonesia yang sehat, beragam, dan berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H