Seminggu yang lalu, saya bersama dua orang teman dekat berjanji untuk ngopi sejenak di kedai kopi langganan kami bertiga. Bukan tanpa sebab saya memutuskan perkara 'keluar rumah' yang kini tengah menuai pro dan kontra. Ada urusan pekerjaan yang tak bisa diselesaikan melalui tatap muka dilayar gawai. Seperti yang kita tahu, bagaimanapun pertemuan tatap muka adalah pertemuan yang tidak bisa tergantikan kualitasnya dengan pertemuan jenis apapun.
Tepat ketika adzan asar berkumandang, saya dan seorang teman tiba di pelataran parkir kedai kopi bersamaan dengan teman saya yang satu lagi. Setelah mencuci tangan dengan sabun cair dipintu masuk, kami bertiga lantas berjalan menuju meja langganan, meja C1.
Awalnya sih biasa saja, tetapi kok lama-lama perasaan saya jadi aneh, ya. Saya melirik dua teman saya. Kami bertiga saling melemparkan pandangan, kemudian sama-sama tersenyum canggung.
Abang-abang yang biasanya mencatat pesanan menghampiri kami. "Kawa ori satu bang." Saya pun menyebutkan pesanan yang sebenarnya tidak perlu saya sebutkan lagi, sebab saking seringnya wajah saya nyempil disalah satu meja kedai kopi yang satu ini. Dua orang teman saya pun mengikuti. Setelah si-abang pergi, suasana kembali sepi. Kami bertiga kembali berpandangan dan berdehem tidak jelas.
"Kok jadi garing gini ya, seumur-umur kita bertiga ngumpul belum pernah loh sesepi ini!" Teman saya yang satu nyeletuk. Sedangkan saya dan teman saya yang satu lagi mengangguk-ngangguk setuju sembari menggaruk kepala yang tidak gatal.
Satu setengah jam berlalu, kami bertiga masih saling melempar tugas. "Ngomong dong, katanya mau cerita banyak kalau ketemu." Begitu seterusnya hingga benar-benar tidak ada percakapan berkualitas seperti yang kami harapkan. Beban yang diharapkan akan berkurang setelah berkeluh kesah sore ini, nyatanya malah bertambah berat. Isi kepala yang berteriak-teriak untuk segera dikeluarkan ternyata malah tambah bising.
Hingga tiba pada pukul 17.40 WIB, 2 jam semenjak kami nongkrong nggak jelas, salah satu teman saya bersuara. "Kayaknya ini efek corona deh. Sampai-sampai dengan teman dekat sendiri saja kita jadi canggung."
Teman saya yang satu lagi menambahkan "Iya, kayanya kita butuh penyesuaian kembali deh. Kita perlu dapetin 'rasa' kita bertiga lagi." Saya manggut-manggut setuju dengan ucapan mereka berdua.
Hingga pertemuan kali itu berakhir dengan kami yang pulang kerumah masing-masing tanpa membawa apa-apa. Dan ternyata, hal sepele seperti ini menjadi beban pikiran bagi saya selama berhari-hari. Baru saja beberapa bulan covid-19 ini plesiran dinusantara, dampak psikologis yang saya alami sungguh luar biasa. Bagaimana jika jalan-jalan santai si nyonya covid-19 ini baru berakhir di akhir tahun seperti prediksi bapak presiden kita?
Saya jadi penasaran. Kira-kira apa saja, ya, yang akan terjadi setelah pandemi ini berakhir?
Jangan-jangan, kita bakalan lupa siapa saja teman setongkrongan kita ketika berkumpul kembali di esok hari. Atau, jangan-jangan kita harus nongkrong berkali-kali dulu untuk mengembalikan "rasa" yang hilang. Atau yang paling parah, kita benar-benar tidak akan merasakan adanya kecocokan lagi dengan teman-teman, karena susahnya resinkronisasi karakter.