Mohon tunggu...
Amelda Sari wr
Amelda Sari wr Mohon Tunggu... Mahasiswa - Saya adalah seorang Mahasiswa jurusan Ilmu Ekonomi sekaligus Penulis dan Ilustrator digital

Sebagai seorang mahasiswa yang antusias dan kreatif, saya sangat antusias dalam mengeksplorasi topik ekonomi, seni, musik, dan inovasi digital, membawa perspektif segar melalui tulisan dan ide saya.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Perbandingan Strategi Quantitative Easing oleh The Fed dan Kebijakan Stabilitas Moneter Bank Indonesia

11 November 2024   23:02 Diperbarui: 11 November 2024   23:08 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seiring meningkatnya ketidakpastian ekonomi global, peran bank sentral dalam menjaga stabilitas ekonomi semakin penting. Di Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed) telah beberapa kali menerapkan kebijakan  (QE) untuk memulihkan perekonomian saat krisis terjadi. QE bertujuan untuk meningkatkan likuiditas pasar dan merangsang pertumbuhan melalui pembelian aset keuangan dalam jumlah besar. Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) lebih fokus pada kebijakan stabilitas moneter yang bertujuan untuk menjaga stabilitas inflasi dan nilai tukar Rupiah. Dengan latar belakang ekonomi yang berbeda, kedua bank sentral ini menghadapi tantangan yang berbeda pula dalam menjaga kestabilan ekonomi. Artikel ini akan menguraikan perbedaan utama antara kebijakan QE oleh The Fed dan kebijakan stabilitas moneter oleh BI, serta dampak masing-masing terhadap perekonomian Indonesia.

Quantitative Easing oleh The Fed: Tujuan dan Dampak

Quantitative Easing adalah kebijakan moneter tidak konvensional yang digunakan oleh The Fed untuk meningkatkan jumlah uang yang beredar di perekonomian ketika suku bunga mendekati nol. Langkah ini diambil dengan cara membeli aset keuangan jangka panjang, seperti obligasi pemerintah dan surat berharga berbasis hipotek. Dengan membeli aset tersebut, The Fed berusaha menurunkan suku bunga jangka panjang, yang pada gilirannya membuat pinjaman lebih murah, baik bagi individu maupun korporasi. Melalui kebijakan ini, The Fed bertujuan untuk mendukung peningkatan investasi dan pengeluaran konsumen, yang diharapkan dapat mempercepat pemulihan ekonomi, terutama setelah krisis.

Sejak krisis keuangan global tahun 2008, The Fed telah menerapkan QE dalam beberapa tahap. Dimulai dengan QE1 pada tahun 2008-2010, The Fed membeli sekuritas berbasis hipotek dan obligasi pemerintah senilai $600 miliar untuk menstabilkan pasar. Tahap kedua, atau QE2, diluncurkan pada 2010-2011 dengan tambahan pembelian obligasi pemerintah. QE3, yang dimulai pada 2012, merupakan program tanpa batas yang disesuaikan sesuai dengan kondisi pasar tenaga kerja. Terakhir, selama pandemi COVID-19 pada 2020, The Fed memperluas QE dalam skala yang lebih besar untuk mengatasi dampak ekonomi yang sangat mengganggu. Setiap tahap QE berperan besar dalam memperkuat pasar keuangan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi AS.

Namun, kebijakan QE tidak hanya berdampak pada perekonomian AS, tetapi juga mempengaruhi ekonomi global, termasuk Indonesia. Ketika suku bunga di AS rendah, investor cenderung mencari imbal hasil yang lebih tinggi di pasar negara berkembang. Arus modal asing yang besar masuk ke Indonesia, yang memperkuat nilai tukar Rupiah dan meningkatkan likuiditas di pasar keuangan. Namun, situasi berubah drastis ketika The Fed mulai mengurangi QE atau melakukan tapering. Dengan suku bunga AS yang kembali naik, modal asing cenderung keluar dari Indonesia untuk mencari keuntungan lebih tinggi di pasar AS. Akibatnya, nilai tukar Rupiah melemah dan pasar keuangan Indonesia menjadi lebih rentan terhadap volatilitas.

Kebijakan Stabilitas Moneter oleh Bank Indonesia

Bank Indonesia memiliki tujuan yang berbeda dari The Fed dalam menjaga stabilitas moneter. Alih-alih meningkatkan likuiditas seperti QE, BI lebih berfokus pada upaya menjaga kestabilan inflasi dan nilai tukar Rupiah. Kebijakan stabilitas moneter ini penting untuk menciptakan lingkungan ekonomi yang kondusif bagi pertumbuhan yang berkelanjutan di Indonesia. BI menggunakan berbagai instrumen untuk mencapai tujuan tersebut, termasuk suku bunga acuan, intervensi pasar valuta asing, dan pengaturan cadangan wajib minimum. Dengan mengatur suku bunga acuan, BI dapat mempengaruhi biaya pinjaman dan mendorong atau menghambat pertumbuhan ekonomi sesuai kebutuhan.

Salah satu langkah penting BI dalam menjaga stabilitas moneter adalah intervensi di pasar valuta asing. Ketika arus modal asing masuk atau keluar dari Indonesia dengan cepat, BI melakukan penyesuaian di pasar valas untuk mengurangi fluktuasi yang berlebihan pada nilai tukar Rupiah. Selain itu, BI juga menerapkan kebijakan cadangan wajib minimum bagi bank, yang berfungsi sebagai alat pengendalian likuiditas. Selama periode QE oleh The Fed, BI sering melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menjaga kestabilan Rupiah dan mengurangi dampak dari arus modal masuk yang besar.

Efektivitas dan Risiko Kebijakan: Perbandingan Dampak QE dan Kebijakan BI pada Pasar Keuangan Indonesia

Kebijakan QE oleh The Fed dan stabilitas moneter oleh BI memiliki tujuan dan dampak yang berbeda terhadap pasar keuangan Indonesia. QE yang diterapkan oleh The Fed telah berhasil meningkatkan likuiditas di AS dan mempercepat pemulihan ekonomi setelah krisis. Hal ini terlihat dari kenaikan harga aset dan penurunan suku bunga jangka panjang yang membuat pinjaman lebih terjangkau. Namun, kebijakan ini juga membawa risiko inflasi yang tinggi di masa depan, serta ketidakstabilan di pasar global ketika kebijakan mulai dikurangi atau tapering dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun