”Sebanyak Rp 212 triliun uang dibakar untuk membiayai subsidi BBM pada tahun 2012. Tahun ini, subsidi minyak dan gas dianggarkan Rp 193,8 triliun.” (Katadata.co.id 2013)
Wah, apa maksudnya dibakar? Bukankah Indonesia Negara kaya raya? Bukankah Indonesia pemilik cadangan minyak bumi yang besar? Tidak lagi. Di era pemerintah Soeharto (1966 – 1998), Negara Indonesia memang kaya, rata-rata produksi minyak mencapai 1,38 juta barel per hari. Mencapai puncaknya pada tahun 1995, yaitu 1, 6 juta barel per hari. Tetapi kini hanya sekitar 800 ribu barel per hari.
Ketika produksi terus merosot, konsumsi minyak justru meningkat. Pada 1980-an, rata-rata konsumsi minyak dalam negeri masih 400 ribu barel per hari, tetapimemasuki tahun 2000, konsumsi minyaksudah melonjak tiga kali lipat menjadi 1,2 juta barel minyak per hari. Bahkan saat ini sudah melebihi 1,4 juta barel minyak per hari.
[caption id="attachment_373488" align="aligncenter" width="541" caption="produksi vs konsumsi (dok. SKK Migas)"][/caption]
Menurut BP world statistic, cadangan minyak terbukti yang dimiliki Indonesia hanya 3,7 miliar barel atau 0,2 persen dari total cadangan minyak dunia. Dibawah Malaysia yang memiliki cadangan5,9 miliar barel,Vietnam4,4 miliar barel. Dengan asumsi tingkat produksi tetap dan tidak ada penemuan cadangan minyak baru, maka cadangan minyak Indonesia diperkirakan akan habis sekitar 11 tahun ke depan.
Jika demikian, mengapa tidak memperluas eksplorasi migas? Bukankah katanya ada cadangan migas disana dan disini? Ternyata jawabannya tidak sesederhana menanam jagung dan sayuran. Tidak mudah mendapatkan investor di bidang migas.
Kegiatan hulu migas terdiri dari pencarian cadangan migas (eksplorasi) dan pengangkatan migas ke permukaan bumi (produksi):
[caption id="attachment_373499" align="aligncenter" width="538" caption="Kegiatan Usaha Hulu Migas (dok. SKK Migas)"]
Terjadi perubahan hasil produksi.Semula produksi minyak terbanyak, kini didominasi gas.
[caption id="attachment_373503" align="aligncenter" width="537" caption="Profil Produksi Migas Indonesia (1966 - 2017) dok. SKK Migas"]
Investor yang tertarik harus mendapat ijin penambangan cukup rumit, melibatkan banyak instansi, serta membutuhkan waktu kurang lebih setahun lamanya. Usai mendapat ijin, dibutuhkan proses kajian awal, pencarian hingga pemboran eksplorasi yang menghabiskan rentang waktu beberapa tahun untuk memulai produksi.
[caption id="attachment_373506" align="aligncenter" width="539" caption="Periode Eksplorasi s/d Produksi (dok. SKK Migas)"]
Investor/ Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) harus menanggung semua biaya. Mulai study, survei dan pemboran eksplorasi. Berikut perinciannya:
- Apabila pada fasa eksplorasi tidak ditemukan cadangan atau ditemukan cadangan namun tidak ekonomis untuk dikembangkan maka kegiatan dihentikan, wilayah kerja (WK) dikembalikan ke pemerintah dan seluruh kerugian biaya menjadi beban KKKS.
- Apabila ditemukan cadangan migas yang komersial, tahap selanjutnya fasa eksploitasi dan seluruh biaya yang telah dikeluarkan oleh Kontraktor dan biaya operasi tahun berjalan, dapat dikembalikan (di-cost recovery) dari hasil produksi wilayah kerja tersebut
- Apabila wilayah kerja tersebut tidak berproduksi, maka seluruh biaya yang telah dikeluarkan sebelumnya oleh Kontraktor, masih ditanggung oleh Kontraktor.
Tidak cukup disitu, Kontraktor menanggung beban yang lebih berat dibanding era keemasan minyak (tahun 1980-1990), yaitu:
- Lebih padat modal, padat teknologi, dan padat risiko
- Tingkat inflasi dan perubahan harga minyak menyebabkan Indeks Biaya meningkat di semua wilayah di dunia. Aktivitas yang sama di tahun 2000 akan memerlukan biaya hampir 2X lipat di tahun 2012
- Didominasi oleh kegiatan yang berlokasi di lepas pantai (offshore).
- Semakin ke arah kawasan timur Indonesia yang perairan lautnya lebih dalam.
- Temuan (discovery) lebih didominasi gas.
- Mulai dikembangkannya hidrokarbon non konvensional (CBM).
- Jangan dilupakan bahwa tidak semua cadangan migas yang ditemukan bisa dimanfaatkan. Untuk memperoleh penerimaan, Kontraktor hanya menambang cadangan migas yang bernilaicukup ekonomis untuk dikembangkan.
[caption id="attachment_373505" align="aligncenter" width="535" caption="Kondisi Terkini Hulu Migas (dok. SKK Migas)"]
[caption id="attachment_373508" align="aligncenter" width="541" caption="dok. SKK Migas"]
Migas merupakan sumber energy fosilyang tidak bisa diperbarui. Tidak hanya cadangannya mulai menipis, kegiatan produksi membutuhkan kontraktor yang berkomitmen tinggi serta kemampuan teknis dan finansial yang tangguh. Sementara kebutuhan energi adalah keniscayaan. Kita tidak bisa hidup tanpa energi. Apa langkah terbaik yang harus dilakukan?
Dimasa jabatannya, wakil menteri ESDM almarhum Widjajono Partowidagdo gencar menyuarakan bahwa jika pemerintah menghapus subsidi minyak maka tidak saja mengurangi beban pemerintah tetapi juga membuka peluang pemanfaatan energi terbarukan karena disparitas harga tidak terlalu besar.
Tidak hanya itu, harus ada perubahan paradigmabaik pemerintah selaku pembuat kebijakan dan rakyat sebagaikonsumen. Pendekatan lama, produksi migas merupakan sumber penghasilan Negara sehingga dihitung sebagai revenue (penerimaan).Sedangkan pendekatan baru, produksi migas harus dilihat sebagai lokomotif penggerak ekonomi nasional. Sesuai amanah UU No. 22/2001 Pasal 3 mengenai penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi sebagai berikut :
[caption id="attachment_373509" align="aligncenter" width="536" caption="Tujuan Usaha Minyak dan Gas Bumi (dok. SKK Migas)"]
Jadi masihkah kita tega membakar anggaran ratusan triliun rupiah?Proporsi anggaran yang dialokasikan Indonesia untuk subsidi BBM tidak jauh berbeda dengan negara-negara petrodollar. Hasil study IMF menyebutkan pada tahun 2011 negara super kaya minyak Venezuela, Arab Saudi dan Iran menganggarkan dana subsidi BBM cukup besar bagi rakyatnya. Arab Saudi mengalokasikan 14 persen dari penerimaan negara, Venezuela 15,8 persen dan Iran 16,9 persen, sedangkan Indonesia 14 persen.
Indonesia menganggarkan 14 persen atau sekitar Rp 200 triliun untuk subsidi BBM. Anggaran yang seharusnya bisa membiayai infrastruktur, biaya kesehatan dan biaya pendidikan (jangan lupa hanya 70 % penduduk yang menamatkan SMP, dan hanya 7 juta jiwa yang lulus sarjana).
Terlebih jika tidak ada penambahanproduksi migas serta tidak ada perubahan kebijakan energy terbarukan, maka 11 tahun kemudian kita akan paceklik energi. Tidak sekedar krisis. Dan apa yang terjadi dengan anak cucu kita?
Sumber :
SKK Migas