Sedikit-sedikit kok healing? Begitu kritik banyak orang tentang kegemaran generasi milenial akan healing. Padahal, kenapa enggak? Healing kan semacam proses "charge baterai" setelah digunakan untuk mengatasi beragam masalah yang menguras emosi.
Healing juga merupakan cara untuk mencapai kebahagiaan. Dan tanpa disadari, individu yang bahagia akan menularkannya pada orang di sekelilingnya.
Banyak orang berlibur, traveling dan aktivitas di luar rutinitas lainnya sebagai pilihan healing. Bebas sih ya. Cara bisa berbeda, tujuannya toh sama, yaitu meluangkan waktu untuk diri sendiri, berdamai dan menghargai diri sendiri.
Nah, saya memilih urban farming. Kegiatan yang tanpa disadari ternyata saya tiru dari almarhum ayah. Di sela kesibukannya sebagai kepala sekolah, beliau menanam berbagai tumbuhan di pekarangan rumah.
Ada tembok batu, tempat beliau menggantungkan berpuluh anggrek bulan, dan saya bertugas menyiram. Ketika para anggrek bulan serempak berbunga, banyak tetangga berdecak kagum dan memuji. Dengan tangkas, almarhum menjawab: "Iya, anak saya yang rajin menyiram".
Huhuhu .....senangnya, cuma menyiram tanaman, eh kecipratan pujian.
Setelah dewasa, aktivitas urban farming berlanjut. Terlebih setelah menjadi ibu rumah tangga kerap mengalami situasi dilematis. Untuk kebutuhan memasak saya butuh bumbu dan rempah, tapi gak banyak, misalnya cuma 2-3 cm lengkuas. Tapi kan gak mungkin beli lengkuas hanya 2-3 cm? Terpaksa beli banyak dan sisanya mengering atau busuk.
Jadi untuk menghilangkan "rasa sebel", saya pun menanam berbagai bumbu dan rempah dapur di pot dan pekarangan rumah.
Kebiasaan tanam menanam ini semakin menjadi setelah saya mempraktikkan zero waste lifestyle yang mengharuskan pelakunya memisah sampah.
Sewaktu tinggal di rumah berpekarangan sih gak masalah. Cukup menggali lubang, saya bisa memasukkan sampah organik ke dalamnya, sedangkan sampah anorganik ke pemulung atau ke petugas sampah.