Mohon tunggu...
ambuga lamawuran
ambuga lamawuran Mohon Tunggu... Jurnalis - Pengarang

Menulis novel Rumah Lipatan, novel Ilalang Tanah Gersang dan antologi cerpen Perzinahan di Rumah Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Nasib Guru Honorer dan Agupena NTT yang Apatis

16 Oktober 2019   09:14 Diperbarui: 16 Oktober 2019   09:21 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Imbas dari upah yang tak layak ini alangkah baiknya dibiarkan mengawang begitu saja, menguap, karena rasanya tak elok diungkit berulang-ulang kali.

Yang ingin saya tulis berikutnya adalah tanggung jawab seorang guru penulis dan pengarang (orang-orang yang tergabung dalam Agupena) terhadap realitas kehidupan tidak manusiawi di depan mata ini.

Setiap orang bisa saja menjadi penulis. Bahkan setiap orang adalah penulis. Seorang sekretaris adalah seorang penulis. Seorang wartawan adalah seorang penulis. Bahkan guru, yang setiap hari menuliskan soal-soal, adalah seorang penulis. Tidak ada yang perlu dilebih-lebihkan dari predikat penulis ini.

Untuk itu, saya tidak ingin memosisikan beberapa anggota Agupena NTT sebagai penulis (writer). Mereka sudah lebih dari itu. Beberapa di antara mereka adalah pengarang (author), sebuah predikat yang jarang dicapai oleh semua penulis.

Walau tentu ada perbedaan besar dan dalam antara kedua predikat ini, ada satu hal yang harus dimiliki keduanya, yaitu rasa kepekaan sosial. Tanpa kepekaan, saya percaya kita tidak akan membaca ratusan buku yang ditulis para pengarang atau ribuan puisi yang ditulis para penyair.

Kepekaan sosial haruslah menyatu-paduh dalam dirinya sang pengarang dan penulis. Dan sungguh terasa aneh, bahkan ajaib, dalam kasus nasib guru honorer, kepekaan para anggota Agupena NTT itu hilang remuk redam tak berbentuk.

Bagi saya alasan tupoksi tidak akan membenarkan ketidakpedulian ini. Pengarang dan penulis yang tergabung dalam Agupena NTT, bagi saya, adalah manusia-manusia merdeka yang bisa berbuat banyak hal demi kemanusiaan, tanpa harus terganggu dengan hal-hal yang tidak substansial.

Dengan alasan ini, sampai sekarang saya tidak bisa menemukan alasan paling masuk akal ketidakpedulian yang selalu ditunjukkan Agupena NTT. Sekaligus saya menyangsikan predikat yang diemban, karena alasan kepekaan.

Karena, tentu, para anggota Agupena NTT bukanlah makhluk halus yang lahir dan tumbuh besar di planet lain, yang terbebas dari situasi nyata yang terjadi di sekeliling kita. Dengan mengandalkan organsiasi dan kekuatan yang dibawakan Agupena NTT, saya percaya organisasi ini bisa memperjuangkan hak-hak guru honorer. Tapi ternyata mereka masih apatis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun