Catatan Perjalanan Kopong Bunga Lamawuran
Minggu siang yang mendung. Hujan lebat semalam telah usai, dan gerimis sesekali turun dengan malu-malu mencium tanah Ende. Beberapa ratus meter ke arah selatan dari Taman Renungan Bung Karno; beberapa puluh meter dari Taman Ria dan Pos Jaga Polisi; seorang ibu tua yang sudah bungkuk badannya sedang duduk memecah-mecahkan batu.Â
Dengan pelan dan lemah, pecahan batu-batu itu dimasukkan ke dalam sebuah ember kecil, lalu dengan menggunakan seluruh kekuataannya, dia bangun, mengangkat ember itu dan mengisinya pada sebuah sak semen yang telah disiapkan. Gerakannya begitu lemah dan tak berdaya, seperti mengangkat batu berpuluh-puluh kilogram.
Dialah Habibah Abubakar, warga Kelurahan Kota Ratu, Kecamatan Ende Utara, Kabupaten Ende; seorang ibu tua yang selama hidupnya tidak pernah tahu kapan dia lahir; seorang ibu yang sepanjang hidupnya tidak pernah sekalipun merayakan hari ulang tahunnya.Â
Jika Anda dengan santun menanyakan tahun kelahirannya, dengan malu-malu dia hanya akan berujar, "Saya tidak tahu. Umur saya sekarang sudah hampir tujuh puluh tahun."Â
Pekerjaan sehari-harinya, selain menenun, adalah memecah-mecahkan batu untuk dijual. Pagi-pagi sekali, dia sudah bangun dan berjalan ke arah laut, memilih-milih batu dan mengisinya pada sebuah ember, pulang dan mulai memecah-mecahkan batu itu untuk kemudian dijual. Harga yang dipasangpun tidak mahal-mahal amat.Â
"Saya menjalani pekerjaan ini sudah lebih dari dua puluh tahun. Pagi-pagi sekali saya ke laut, mengumpulkan batu, pulang dan mulai bekerja. Untuk batu sebanyak satu sak semen, harganya sepuluh ribu rupiah. Jika ada yang bisa membeli sampai lima sak, saya menggunakan itu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari."
Sebagai manusia yang berperasaan, kita tentu saja berharap agar batu-batu kerikil itu bisa terjual beberapa sak tiap hari. Namun ternyata tidak.Â
"Tidak tiap hari orang datang membeli," katanya, "Tidak juga dua tiga hari sekali. Bahkan kadang seminggu sekali baru ada yang membeli. Tapi apa boleh buat! Hidup memang susah. Tapi saya telah membuktikan selama dua puluh tahun lebih, bahwa keinginan untuk hidup mengalahkan segala-galanya. Setelah kematian suami saya, dibantu oleh Barsim, kami menghidupi keluarga dengan pekerjaan ini."
Ya. Suami tercintanya, Abubakar, telah dipanggil Tuhan 6 tahun silam. Suaminya dulu adalah seorang tukang bangunan. Bersama Abubakar, mereka mempunyai tiga orang anak, yang sulung bernama Guntur, telah dipanggil tuhan empat tahun silam.Â
Yang kedua bernama Basrim (23 tahun), dan  yang bungsu bernama Astuti (21 tahun). Basrim, setelah kematian kakak dan ayahnya, kini bekerja sebagai buruh bangunan. Dia telah beristri dan mempunyai dua orang anak. Sedangkan Astuti, juga sudah bersuami dan memiliki tiga orang anak.   Â