Catatan Kopong Bunga Lamawuran
Terletak tepat di muka kantor Pengadilan Agama Kelas 1 B, Jalan Kejora, Kota Kupang; berjarak hanya beberapa ratus meter di belakang gedung DPRD Provinsi NTT; dikelilingi petak-petak sayur kangkung yang luas; rumah hunian itu terlihat seperti sebuah pondok yang tumbuh begitu saja di tengah kota. Di rumah itu, Agus Malo, seorang lelaki tua tinggal dan hidup dari menanam sayur.
Kamis (25/1/2018) siang, hari baru saja habis gerimis. Penuh kehati-hatian, Agus Malo keluar dari rumah itu, berjalan sambil memegang pohon Reo yang baru setinggi dua kaki, masuk ke petak-petak sayur yang berlumpur, memotong sayur kangkung, mengisinya dalam karung, kembali ke samping rumahnya, mencucinya, lalu menaruhnya begitu saja di atas sebuah ember dari ban oto: mengangininya.
"Ada yang beli," katanya dalam dialek Dawan, lembut.
Sebagai seorang warga eks-Timor Timur (Tim-tim) yang kini bekerja sebagai penanam sekaligus penjual sayur, ia hanya bisa hidup dari seberapa banyak sayuran yang dibeli dalam sehari.
"Lumayan," katanya. "Satu bedeng biasanya mereka kasih Rp. 150.000."
Kalau ada yang datang membeli hanya Rp. 5.000, ceritanya, ia biasa memberi mereka sayur lebih banyak. "Soal untung rugi itu sudah ditentukan Tuhan. Orang yang takut rugi berarti ia tidak percaya kepada Tuhan," katanya dengan nada pasti.
Sebenarnya ia bukan warga asli eks-Timtim yang memilih Merah Putih sebagai bendera kebangsaannya. Ia lahir di Kefa dalam tahun yang tidak mampu diingatnya. Tahun 1969, ia hijrah ke Timor Leste (waktu itu masih Timor Timur) untuk mencari penghidupan.
"Saya lahir di Kefa. Tahun lahir saya tidak ingat," katanya tersenyum simpul. "Tahun 1969, saya ke Timor Timur. Saya sudah kerja di sana, beristri, punya rumah dan kebun."
Namun, seiring bergantinya tahun, semua berubah. Tahun 1999, Timor Timur akhirnya melepaskan diri dari NKRI, dan kisah-kisah permusuhan sampai pembunuhan antara pro-kemerdekaan dan pro-Merah Putih, masih terjadi sampai sekarang.