Mereka, para wartawan itu, meliput, foto-foto, mewancarai masyarakat tentang kelangkaan air, harapan-harapan masyarakat kepada pemerintah. Dan sampai sekian lama tahun, harapan-harapan itu tinggal harapan. Keinginan untuk mendapatkan air bersih sampai sekarang tidak pernah terwujud. Karena itu, sekali lagi, dia tidak terlalu percaya lagi dengan wartawan.
Untuk membangkitkan kembali rasa percayanya, saya menjelaskan identitas sekedarnya kepadanya. Seorang wartawan, ujar saya, dari media liputan6.com.
"Seorang lagi kirim berita ke Turki. Ke luar negeri," jelas saya.
Saya tentu tidak berbohong kepadanya. Dan terlihat berhasil. Usai penjelasan itu, ada rasa persahabatan yang muncul perlahan-lahan di raut wajahnya.
Suasana yang pada awalnya tegang kini mencair. Sambil menimba air, dia bercerita bahwa sumur ini merupakan sumur tertua yang mereka miliki. Dari sumur tua itu, denyut kehidupan keluarga dan desa dihidupkan. Seandainya saja di sini tidak ada sumur, tentu 280 keluarga ini telah mengungsi.
"Padahal, ketika para wartawan yang dulu itu datang, kami minta hanya satu saja: air, air, dan air. Kami tidak minta yang lain," katanya.
Di jalanan, perempuan umur belasan sedang mendorong gerobak yang berisi jeriken penuh air. Anak-anak tetap bermain, kini berkejaran di jalanan, tampak sangat bahagia. Pada sebuah rumah warga, terdengar bunyi musik yang disetel dengan volume sangat keras. Sekali lagi, saya sepertinya mendapati kembali kenangan-kenangan masa lalu yang mengembara dan menetap di dusun ini. Suasana dusun terlihat kering, walau banyak tumbuh pohon-pohon besar.
Sekitar sekilo dari sumur itu, kami menjumpai beberapa lelaki berdiri berkerumun. Frit Janggu, seorang di antara mereka, berusaha menjelaskan kondisi dusun dengan suara lebih keras.
"Air hasil bilas pakaian, saya tidak buang," ujar Frits Janggu dengan keras. "Air itu masih bisa dipakai kalau saya ke kamar kecil."