Catatan Perjalanan Kopong Bunga Lamawuran
Hari telah sore. Sinar matahari dengan susah payah menembus dedaun pohon-pohon yang rimbun, sebisa mungkin menyumbangkan cahaya kepada dua buah sumur tua yang bernaung di bawah pohon-pohon itu.
Di sekitaran sumur tua itu, anak-anak terlihat bermain, mandi, kejar-kejaran, dan yang lebih kentara: menimba air. Mereka adalah anak-anak Dusun Oelkuku, Desa Kuimaso, Kecamatan Fatule'u, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Saya berhasil sampai di dusun ini pada 7 Mei 2018, bersama tiga orang wartawan. Di dusun ini saja, sekitar 280 kepala keluarga menderita krisis air yang sangat parah.
Di dusun itu -- setelah menempuh perjalanan selama satu setengah jam dari Kota Kupang -- saya tidak bisa menemukan kebahagiaan lain pada diri anak-anak itu, selain mereka bermain-main, mandi dan menimba air di sumur tua itu.
Di tempat yang tidak terlalu jauh dari ibukota provinsi, saya malah menemukan sebuah ironi dalam dunia yang telah berkembang begitu maju. Ada perasaan sedih yang muncul secara tiba-tiba, karena sebagian besar kehidupan kanak-kanak anak-anak ini didominasi oleh masalah langkanya air.
Saya tentu pernah mengalami situasi semacam ini. Tapi itu sudah lama sekali. Sudah puluhan tahun. Dan melihat anak-anak kecil yang bermain sambil menimba air di sumur ini, saya seperti menemukan kembali kenangan masa silam.
Dua orang perempuan umur 30-an tahun datang dan menimba juga di sumur itu. Mereka membawa jeriken-jeriken kosong juga ember dengan ukuran cukup besar.
"Kamu siapa?" tanya Enjel, seorang di antara mereka. Ada nuansa ketidaksukaan dari tatapannya.
Walau begitu, dia masih sempat bercerita kepada kami, bahwa dia sudah tidak terlalu percaya lagi dengan para wartawan. "Beberapa waktu lalu ada beberapa wartawan yang datang," katanya.