Supremasi kekuasaan eksekutif sebagai wujud atas terma kekuasaan tertinggi senyatanya telah mendominasi. Pada logikanya terdapat sebuah paradoks di mana kekuasaan tertinggi memiliki kenyataan bahwa penguasa tertinggi sekaligus berada di luar dan di dalam tatanan yuridis. Penguasa tertinggi diberi oleh tatanan yuridis untuk penetapan keadaan eksepsi karenanya ia memiliki kekuasaan bagi pembatalan validitas tatanan yuridis itu. Ia berada di dalam tatanan yuridis karena memiliki kekuasaan hukum untuk berada di luar hukum guna membatalkan validitas hukum.
Olehnya kekuasaan tertinggi secara imanen mengandung dua hal: potestas (kekuasaan konstitutif) dan auctoritas (otoritas). Potestas berhubungan pada kekuasaan dalam hukum, seperti kekuasaan eksekutif yang terberi oleh aturan hukum. Sementara, auctoritas terkait perihal beyond-the-law.Â
Karena penguasa tertinggi diberi kekuasaan hukum untuk berada di luar hukum bagi penetapan eksepsi maka memungkinkan atas evaluasi empiris dari penguasa tertinggi beserta paradoksnya guna mensituasikan keadaan pengecualian (state-of-exception). Keadaan pengecualian erat kaitannya dengan situasi di mana penguasa tertinggi mencerabut hak politik warga negara. Inilah yang kemudian melahirkan subjek Homo Sacer.Â
Menjadi hal menarik bilamana Agamben melihat demokrasi bukan dari keadaan romantis kedaulatan rakyat, kesetaraan hukum, serta klaim lain perihal kekuasaan dari, untuk, dan oleh rakyat, melainkan sebagai eksklusi dan supremasi kekuasaan tertinggi yang melampaui hukum.
Kritik Agamben naik secara tajam dan radikal dikarenakan melihat demokrasi sebagai evil, alih-alih lesser-evil. Daripadanya kemudian bukan tak mungkin ia terjatuh pada nihilisme atas tatanan. Pertanyaannya, bilamana demokrasi sebagai tatanan politik dikatakan sebagai evil lalu bagaimana tatanan politik lainnya seperti monarki maupun aristokrasi? Bukannya demokrasi masih memiliki sisi progresif dan radikalnya seperti yang dikemukakan oleh Ranciere, Laclau, Mouffe, maupun Lefort? Kendati demikian, pandangan Agamben dapat mengingatkan kita untuk mengevaluasi terus praktik demokrasi dikarenakan telah mengendap perihal pengeksklusian beserta kekuasaan tertinggi yang melampaui hukum.
MENILIK PARADOKS KEKUASAAN TERTINGGI SAMPAI STATE-OF-EXCEPTION PERIHAL PERPPU CIPTA KERJA
Terus mengevaluasi praktik demokrasi serta mengurai endapan paradoksnya, dalam posisi itulah penulis menerima tesis Agamben atas demokrasi sekaligus menjadi bingkai teoretik guna mengulas fenomen sosial-politik-hukum belakangan, yakni perihal Perppu Cipta Kerja.
Bermula dari putusan uji formil UU Cipta Kerja. Mahkamah Konstitusi memutus UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dengan implikasi lanjutan bagi keharusan penguasa tertinggi untuk memperbaiki substansinya dalam jangka waktu paling lama dua tahun sekaligus perlu adanya partisipasi publik yang bermakna. Guna menjawab hal tersebut, penguasa tertinggi belakangan telah mengeluarkan Perppu Cipta Kerja. Diterbitkannya Perppu Cipta Kerja pada dirinya menjadi tanda atas 'pelampauan' (dengan penganuliran) putusan MK.
Perppu Cipta Kerja sendiri ibarat super-omnibus law, ia menjadi pengondisian atas (potensialitas) legitimasi UU Cipta Kerja (omnibus law) dengan segala cakupan luasnya kendati pada dirinya 'melampaui' (melalui penganuliran) putusan MK.
Putusan MK menegaskan bahwa proses pembentukan UU Cipta Kerja yang diputus inkonstitusional bersyarat harus dilakukan sejak awal seperti pembuatan UU biasa. Dari situ memiliki implikasi agar hadirnya partisipasi publik bermakna selaiknya penetapan produk hukum lain dengan berdasarkan partisipasi publik bermakna yang tak hadir pada pembentukan UU Cipta Kerja. Kendati harus diakui pula terdapat upaya penyiapan naskah akademik beserta sosialisasi di beberapa kota, namun itu semua luluh lantak dengan terbitnya Perppu Cipta Kerja secara mendadak. Soal ini pada dirinya menganulir status inkonstitusional bersyarat dari UU Cipta Kerja.
Penerbitan Perppu sebenarnya merupakan hak dari penguasa tertinggi, dalam konteks ini ialah presiden sekaligus sebagai wujud eksekutif, terkait hal ihwal kegentingan memaksa. Perihal 'kegentingan memaksa' merupakan penilaian subjektif presiden. Landasan konstitusional atasnya termaktub di Pasal 22 Ayat (1): "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang".