"Pendidikan Bukan Hanya Tentang Ilmu Pengetahuan, Tetapi Nilai-Nilai Kehidupan: Meneropong Relevansi Culturally Responsive Teaching dalam Sistem Pendidikan di Negeri Seribu Kebudayaan"
Indonesia, dengan julukan "Negeri Seribu Kebudayaan," merupakan ladang keanekaragaman budaya yang memukau. Setiap sudut negeri ini Sabang sampai Merauke menyimpan ratusan bahasa, adat istiadat, dan tradisi unik yang menjadi identitas masing-masing kelompok suku.
Dalam konteks pendidikan, tantangan muncul: Bagaimana menciptakan sistem pendidikan yang tidak hanya menyampaikan ilmu pengetahuan, tetapi juga menghargai dan merangkul nilai-nilai kehidupan yang ada dalam setiap kebudayaan? Inilah di mana Culturally Responsive Teaching (CRT) muncul sebagai pionir pendekatan yang relevan dan penting.Â
Culturally Responsive Teaching (CRT) secara gamblang memiliki sejarah yang kuat sebagai sebagai gerakan sadar akan pentingnya akomodasi keberagaman budaya dalam pendidikan semakin berkembang. Gerakan ini dimulai sejak 1960-an pada era Gerakan Hak Sipil Amerika Serikat. Melalui beberapa tokoh seperti Gloria Ladson-Billings menyoroti masalah segregasi rasial dan perlakuan yang tidak adil bagi minoritas dalam mendapatkan pendidikan yang berkualitas.Â
Secara singkat tujuan utama dari Culturally Responsive Teaching (CRT) dalam dunia pendidikan adalah menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif, relevan, dan bermakna bagi semua siswa, terlepas dari latar belakang budaya mereka. Beberapa tujuan utama CRT dalam pendidikan adalah:Â
- Mengakomodasi Keanekaragaman Budaya: CRT bertujuan untuk mengakomodasi keberagaman budaya siswa. Ini mencakup pengakuan, penghormatan, dan pengintegrasian nilai-nilai, tradisi, bahasa, dan pengalaman budaya siswa ke dalam pembelajaran.Â
- Meningkatkan Motivasi Belajar: CRT bertujuan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa dengan membuat materi pelajaran lebih relevan dan terkait dengan pengalaman pribadi mereka. Ketika siswa merasa bahwa pembelajaran memiliki relevansi dengan kehidupan mereka, mereka cenderung lebih termotivasi untuk belajar.Â
- Peningkatan Pencapaian Akademis: Pendekatan CRT berfokus pada pencapaian akademis yang lebih baik melalui pengakomodasian kebutuhan siswa dan menghilangkan hambatan yang mungkin muncul karena perbedaan budaya.Â
- Pemahaman Antarbudaya: CRT bertujuan untuk membangun pemahaman yang lebih dalam tentang keanekaragaman budaya dan mengembangkan keterampilan sosial yang memungkinkan siswa untuk berinteraksi secara efektif dalam masyarakat yang beragam.Â
- Penciptaan Lingkungan Belajar Inklusif: Tujuan CRT adalah menciptakan lingkungan belajar yang aman, inklusif, dan mendukung bagi semua siswa. Ini melibatkan penghormatan perbedaan, menghindari diskriminasi, dan menciptakan rasa kepemilikan di antara siswa.Â
- Pemahaman Terhadap Isu-isu Sosial: CRT juga bertujuan untuk membangun pemahaman siswa tentang isu-isu sosial, seperti rasisme, seksisme, ketidaksetaraan, dan intoleransi. Hal ini dapat membantu siswa menjadi warga negara yang lebih berpengetahuan dan peduli terhadap isu-isu ini.Â
- Peningkatan Keterampilan Hidup: Selain akademis, CRT juga dapat membantu siswa mengembangkan keterampilan hidup yang berguna di dunia nyata, termasuk keterampilan komunikasi, kerja sama, dan pemecahan masalah.Â
- Pengembangan Identitas Positif: CRT bertujuan untuk membantu siswa mengembangkan identitas positif yang menghargai asal usul budaya mereka. Ini dapat meningkatkan rasa harga diri dan kepercayaan diri siswa.Â
Jadi, dapat dikatakan bahwa tujuan utama CRT adalah menciptakan pendidikan yang lebih adil, inklusif, dan relevan, yang menghormati keanekaragaman budaya dan membantu semua siswa mencapai potensi mereka dengan baik.
Di Indonesia sendiri Culturally Responsive Teaching (CRT) mulai diadopsi dalam perkembangan pendidikan yang modern. Memang sejak dahulu kala kekayaan budaya Indonesia tidak diragukan lagi keberagamannya dan CRT memiliki tempat yang tepat untuk diterapkan. Selama sejarah modern pendidikan Indonesia berusaha untuk mencerminkan kekayaan budaya dan latar belakang yang beragam dari peserta didiknya yang diwujudnyatakan melalui kurikulum yang didalamnya menyajikan mata pelajaran muatan lokal hingga materi-materi pembelajaran yang selalu diselipkan dengan berbagai tradisi, nilai-nilai budaya, dan bahasa daerah yang telah menjadi bagian integral dari pendidikan formal dan informal di lingkungan masyarakat. Pengaruh globalisasi dan konektivitas dengan dunia luar telah mendorong kesadaran akan pentingnya pendidikan yang merangkul keragaman budaya. Banyak pendidik dan pemangku kepentingan di Indonesia mulai mempertimbangkan bagaimana pendekatan CRT dapat diterapkan dalam konteks pendidikan Indonesia. Hal ini tidak jauh dari maksud dan tujuan untuk menjaga keberlanjutan budaya dan melestarikan warisan budaya serta menanamkan rasa bangga memiliki budaya sebagai identitas diri, membenamkan nilai-nilai budaya yang positif pada diri peserta didik yang adalah generasi penerus bangsa dengan tanggung jawab besar terhadap kelestarian budaya-budaya bangsa ini.
Sejatinya Culturally Responsive Teaching (CRT) adalah pendekatan pembelajaran yang menekankan pentingnya mengintegrasikan nilai-nilai budaya, tradisi, dan pengalaman hidup siswa ke dalam proses pembelajaran. Tidak hanya memfokuskan pada aspek akademis, pendekatan ini juga mengutamakan pemberdayaan dan penghargaan terhadap keanekaragaman budaya dalam lingkungan kelas. Tujuannya bukan hanya menciptakan individu yang cerdas secara intelektual, tetapi juga bijaksana dalam memahami dan menghormati keanekaragaman budaya. Indonesia, dengan lebih dari 17.000 pulau dan lebih dari 700 bahasa daerah, memancarkan pesona budaya yang tak tertandingi. Berbagai tradisi, seperti wayang kulit, tari kecak, dan upacara adat, menjadi cermin kekayaan spiritual dan sosial yang menguatkan jati diri masyarakat.
Culturally Responsive Teaching (CRT) disini memiliki fungsi dan peran sebagai jembatan untuk menghubungkan pembelajaran di kelas dengan realitas budaya yang kaya ini. Dengan mengintegrasikan unsur-unsur budaya lokal dalam kurikulum, CRT memastikan bahwa siswa tidak hanya memahami ilmu pengetahuan, tetapi juga memiliki rasa hormat dan rasa bangga terhadap warisan budaya mereka.